Belakangan ini saya terbesit untuk memahami antara ekspektasi dan
motivasi. Saya rasa motivasi menjadi hal utama seseorang dalam melakukan
kegiatanya, namun dalam sebuah motivasi di
dalamnya berisi berbagai ekspektasi atau hal yang belum terjadi dan menjadi
tujuan.
Dari pemahaman sederhana tersebut, seseorang memiliki ekspektasi berdasarkan
apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, apa yang mereka rasa atau apa yang
mereka baca. Hal ini berkaitan dengan refrensi keseharian mereka.
Tidak ada aturan ataupun parameter baku tiap individu untuk
berekspektasi atau mencari motivasi dalam setiap hal yang mereka lakukan, namun
dari fenomena tersebut ada hal yang krusial dalam setiap aksinya. Hal tersebut
adalah skala prioritas.
Menurut Howard Gardner, ia mengemukakan bahwa penentuan skala prioritas itu erat kaitanya dengan kecerdasan seseorang. Hubungan antara skala prioritas dan kecerdasan seseorang adalah bahwa setiap individu memiliki kombinasi unik dari berbagai jenis kecerdasan yang dapat mempengaruhi preferensi mereka dalam mengalokasikan waktu, upaya, dan sumber daya.
Teori multiple intelligences oleh Howard Gardner
mengidentifikasi delapan jenis kecerdasan yang berbeda, seperti kecerdasan
linguistik-verbal, logika-matematis, visual-ruang, dan lainnya. Individu dengan
kecerdasan tertentu cenderung memberikan prioritas pada area-area yang sesuai
dengan kecerdasan mereka yang kuat.
Namun ia juga mengemukakan bahwa kecerdasan bukanlah satu-satunya faktor
yang mempengaruhi skala prioritas, karena nilai, kepercayaan, pengalaman, dan
faktor-faktor lain juga memainkan peran penting dalam menentukan apa yang
dianggap penting dan bagaimana skala prioritas individu terbentuk.
Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dalam menentukan skala
prioritas sangatlah kompleks dan tidak sederhana, memerlukan pengetahuan, pola
pikir logis dan juga pengalaman. Hal ini bisa dijadikan indikator seseorang
apakah benar-benar kompeten atau tidak, dengan mengetahui apa yang menjadi
prioritasnya maka sebagian informasi terkait personality sudah terjawab.
Kadang saya bertemu orang-orang yang memiliki motivasi besar, ekspektasi
tinggi namun mereka melupakan hal-hal basic yang fundamental. Katakanlah mereka
ingin menggeser gunung dan menguras lautan namun ia lupa bahwa mereka masih
merangkak dan belum memakai celana.
Ini menjadi pengingat saya ketika secara tidak sadar membicarakan hal-hal besar, merasa penting dan menjadi orang primer,
akan tetapi mengelola dirinya sendiri saja belum tentu, sekadar untuk bangun
sholat subuh saja kadang terlanjur matahari sudah tinggi, hal demikian yang
menjadikan diri saya terus berbenah. Agar tidak loncat melewati hal-hal dasar nan
fundamental.
Menurut saya, hal-hal besar tidak datang dengan instan melalui shortcut.
Mungkin beberapa orang mengagung-agungkan relasinya dalam mendatangkan hal
besar, akan tetapi natural habbit yang mereka bawa tidak bisa disembunyikan, seiring
berjalanya waktu akan terus mendesak untuk tetap sejalan. Hal demikian sangat
berat ketika hal besar tidak dimulai dengan berurutan dari yang sederhana menuju
hal kompleks.
Fake masking dalam impresi menurut saya tidak menjadikan kita hebat,
hanya akan membawa penyesalan dalam diri dan membawa kekecewaan orang disekitar yang
terlanjur tergocek. Saya sendiri lebih menghargai hal-hal kecil yang mendasar
namun hal tersebut konsisten dan muncul sebagai motivasi internal. Bukan muncul
sebagai hal untuk mengimpresi orang lain.
Dengan kata lain, menjadi otentik adalah hal yang langka untuk saat ini.
Saya hanya berharap teman-teman yang membaca tulisan ini sedikit mereview apa
yang sedang berjalan pada diri kita, apakah ini sesuatu yang krusial? Apakah ini
berdampak signifikan? Minimal kita tahu bahwa apa yang kita lakukan bukanlah hal
yang sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar