Flashback dulu ketika SMA, lihat
postingan di Instagram yang isinya menyinggung quarter life crisis di umur 20an itu banyak
ngalamun dan bingung dengan keadaan bener-bener ga ngeh sama konteksnya, menganggap
itu semua hiperbola dan konten yang segmented untuk orang tertentu saja. Namun
saat saya menulis ini di usia 22 tahun, saya menyadari statmen tersebut memang
benar dan saya mengamini hal-hal yang menjadi jokes bukanlah sekadar gurauan.
Melihat teman-teman seumuran yang punya karir cemerlang, capaian materi
serta pasangan hidup yang terlihat sangat sempurna tentu menjadi insight
tersendiri yang kadang membuat diri saya bertanya-tanya “Kok bisa ya?”. Sempat hal-hal
yang demikian mengusik ketenangan saya, menjadi khawatir akan masa depan dan merisaukan
segala hal yang sedang berlangsung pada saat ini. Namun beruntungnya, saya
sudah tidak lagi terbakar melihat hal-hal yang demikian, experience terkait “hidup”
belakangan ini benar-benar membuat saya memahami konsep sawang-sinawang dan
juga konsep “End Goals”.
Peristiwa di masa lampau membuat saya menyadari bahwa setiap yang
terjadi pasti memiliki alasan, entah itu peristiwa yang menyenangkan maupun
menyedihkan. Saya bersyukur bisa melewati dan membawa “hikmah” yang benar-benar
merubah sudut pandang saya terhadap kehidupan sehari-hari. Hal ini saya sampaikan
di awal artikel ini sebagai parameter sebelum saya membahas masalah inti yang
ingin saya ceritakan.
Ini berkaitan dengan waktu dan proses. Hal tersebut mereduksi iri, dengki atau terbakar ketika melihat
gemerlap dunia, saya yakin bahwa setiap hal yang datang kepada kita sudah ada
porsinya, sudah ada masanya. Terkait kapan datangnya kita tidak pernah tahu,
namun semua itu bisa diakselerasi dengan upaya kita.
Terkait upaya, mungkin semua bisa dilakukan dengan kemampuan
masing-masing, namun perihal ranah yang bisa kita ubah dan bisa kita
akselerasikan hanya ada pada lingkup internal. Kita hanya bisa mengontrol apa
yang ada pada diri kita. Terkait faktor eksternal kita hanya bisa memitigasinya
dengan hal-hal yang tidak bersinggungan langsung.
Kita hanya bisa mengontrol apa yang bisa kita kontrol. Saya mencoba menerapkan
hal yang demikian untuk mencari ketenangan diri. Dan hal tersebut berhasil
membawa saya menjadi orang yang tidak lagi risau dengan hal-hal yang belum
terjadi. Dengan pemahaman yang demikian, saya semakin sadar bahwa beberapa
tujuan bukan berkaitan dengan materi atau rival. Akan tetapi berhadapan dengan
waktu. Sebab kita tidak bisa menghentikan waktu, membuat lebih cepat maupun
melambatkanya.
Chronosystem, atau sistem waktu. Saya medapat insight perihal ini ketika
mempelajari psikologi perkembangan saat kuliah. Menurut Bronfenbrener, individu
tumbuh berkembang dipengaruhi besar oleh Sistem Ekologi sosial, yang intinya
lingkungan terdekat hingga kondisi tempat tinggal serta budaya memiliki peran
yang signifikan terhadap kondisi seseorang.
Namun diluar “lingkungan” yang dimaksud, Bronfenbrenner juga memaparkan
terkait “Chronosystem” yang menjelaskan bahwa perjalanan seseorang juga membuat
orang bisa berubah seiring berjalanya waktu dan bertambahnya pengalaman hidup.
Chronosystem ini terbukti ada dan memiliki dampak yang besar dalam perkembangan
individu.
Saya mengamati dan melihat sendiri, banyak hal-hal yang berubah dalam
waktu kurun 5 tahun. Contoh sederhananya teman-teman sewaktu SMA, ketika lulus
semua masih berada pada satu garis yang sama, namun selang beberapa tahun
mereka semua memiliki garis masing-masing. Kondisi mereka survive, bertemu
orang-orang baru, mendapat pengalaman baru sangat jelas merubah kondisi
personal mereka. dan uniknya, chronosystem ini tidak bisa diatur.
Tidak bisa diatur? Ya, tidak bisa diatur secara langsung. Kembali lagi,
hal tersebut hanya bisa diupayakan dengan hal-hal kecil yang saling berkaitan, kesempatan
dan kesiapan yang membentuk keberuntungan. Benar-benar tidak ada standar yang
pasti terkait bagaimana cara hidup yang ideal, semua hanyalah perspektif.
Kondisi tiap individu adalah dinamis, mungkin kemarin memiliki pegangan
yang kuat terkait prinsipnya namun bisa saja esok hari tercerahkan atau malah
terseungkur dengan pola pemahaman yang baru. Singkatnya, perjalanan yang
demikian tidak memiliki kepastian.
Dari pemahaman tersebut, saya memutuskan untuk senantiasa fleksibel dalam
menghadapi berbagai hal, senantiasa dinamis dan terus memahami perkembangan
yang ada. Namun, meskipun perjalanan yang ada penuh dengan ketidakpastian, kita
perlu memiliki “End Goals” yang jelas. Hal ini yang akan menuntun kita pada
hal-hal besar. Tidak peduli bagaimana caranya, fleksibilitas dan end goals
mesti di pertimbangkan pada permasalahan yang ada.
Kesimpulanya, kita berjalan pada garis masing-masing. Persoalan “Standar”
hanyalah perspektif, untuk itu tidak perlu merisaukan hal-hal eksternal
termasuk proses perjalanan orang lain yang kemudian kita komparasikan. Mengkomparasikan
garis perjalanan hanya membuang waktu dan membawa kita pada keterpurukan. Semua
sudah ada porsinya, sudah ada masanya. Kita hanya diminta untuk improvisasi
mengarungi choronosystem hingga bertemu pada hal-hal besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar