Benchmarking, kegiatan yang saya kaitkan terus menerus di beberapa tulisan saya. bukan tanpa alasan, menolok ukur bagi saya bukan sekadar membanding-bandingkan, namun bagian dari diri saya untuk terus berproses menjadi lebih baik dari fase sebelumnya.
Di usia 21 tahun ini, saya
benar-benar mengamini terkait apa yang saya pelajari dulu sewaktu SMA. Tentang
sejarah yang bersiklus dan terus berulang, menelisik apa yang berkembang dari
diri saya secara diakronik dan sinkronik.
Saya sadar, dengan menolok ukur
semakin paham tentang “siapa saya?” memahami potensi yang ada pada diri,
mengukur apakah lingkungan dimana saya hidup mendukung untuk berkembang atau
tidak. Mengetahui bagaimana cara menata dan mempengaruhi lingkungan secara tepat.
Rasa sadar tersebut muncul ketika
kita banyak menerima informasi, membaca, mendengar dan melihat kondisi secara
langsung. Kesadaran tersebut terbangun ketika mengkorelasikan diri kita
dengan masalah yang terjadi. Rasa sadar ini memiliki dua sisi yang sama-sama
tajam. Contoh ketika kita sadar ada yang kurang dengan diri kita, ada dua
kemungkinan pikiran pasca sadar yaitu semakin minder atau malah bergegas
memperbaiki diri.
Pilihan Tindakan tersebut
dipengaruhi orientasi individu tersebut, kita mesti menelisik lebih dalam
tentang alasan kenapa mereka menutup diri untuk minder? Kenapa mereka bergegas
membenahi diri? Dari pengamatan saya pribadi, level percaya diri kita tidak
lepas dengan bagaiamana kita dibesarkan. Mereka yang sedari kecil diasuh dengan
pola yang salah oleh orang tua berpotensi tinggi untuk mudah minder dan takut
untuk mengambil keputusan.
Semua itu juga tidak terlepas
dengan kondisi perekonomian dan fasilitas, untuk sekadar bergaul dan membaur
saja kadang mesti berpikir seribu kali ketika sirkel yang dimasuki adalah
sirkel yang plural dan heterogen. Beruntung mereka yang mudah beradaptasi
disegala situasi. Sedangkan mereka yang sedari lahir sudah terfasilitasi dengan
baik jarang menyadari effort orang lain diluar sana. Mereka lahir tinggal
menjalani hidupnya dengan privilege yang mereka dapat dari orang tua.
Jika mengkomparasikan hal yang
demikian, pilihan paling menguntungkan yaitu menjadi orang yang sadar dan
mampu mengoptimalkan diri atau malah menjadi orang yang tidak tahu sama
sekali. Kedua pilihan tersebut sama-sama optimal namun di level yang
berbeda. Orang yang tidak tahu sama sekali akan lebih berani mengambil
keputusan, tidak mempedulikan risiko yang kadang malah membuat mereka berhasil.
Sedangkan ia yang memiliki sumber daya juga tidak takut akan risiko karena
privilege mereka bisa mengcovernya dengan baik.
Paling sial adalah mereka yang
sadar namun tidak memiliki sumber daya untuk mengoptimalkan, semuanya serba
tanggung dan serba salah. Menyadari segala konsekuensi atas Tindakan namun tidak
dapat mencegah atau meraihnya. Menyadari bahwa tidak semua hal bisa diraih
dengan kerja keras, sebab privilege mereka yang sedari lahir berada di kalangan
atas sangat mudah mendapat validasi. Sedangkan orang-orang biasa hanya bisa
mengandalkan pendidikan sebagai elevator sosial.
Publikasi ilmiah, penelitian,
ijazah adalah wujud validasi untuk masuk ke sirkel yang lebih pakem dan serius.
Mereka yang lahir dengan privilege tinggi tanpa validasi akademis pun bisa
menjangkau sirkel atas berdasarkan track record keluarganya, relasi atau
sekadar menyebut nama orang tua mereka.
Privilege orang-orang yang berada
di lini atas bukan sekadar harta dan kasta sosial, namun pembeda yang paling
berpengaruh adalah persoalan mindset. Sudut pandang mereka sudah berbeda dalam
mengkaji suatu masalah. Bisa jadi, ketika mereka yang di atas dan di bawah
dipertemukan pada satu pekerjaan, sudut pandang mereka sudah berbeda 180
derajat. Mereka yang di atas memandangnya sebagai hiburan dan sebagai proyek
sosial dan memikirkan keberlangsunganya beberapa Langkah kedepan, sedangkan
mereka yang berasal dari kalangan bawah hanya berpikir singkat sekadar
menyelesaikan pekerjaan dan perut terisi.
Kenyataan tersebut yang membuat
saya berpikir, bagaimana cara mengoptimalkan kondisi saat ini agar semakin baik
tanpa proses yang bertele-tele dan melelahkan meskipun tidak memiliki privilege.
Dari proses panjang untuk sadar tersebut saya menemukanya, menyadari bahwa
menghasilkan karya akan membawa kita ke posisi yang lebih baik.
Sebab dalam karya yang nyata
tidak ada lagi proses validasi. Jika karya tersebut berfungsi atau disukai
banyak orang secara otomatis sang kreator akan diterima di berbagai sirkel
sosial. Bisa jadi elevasi sosial yang dimaksud akan menghampirinya tanpa effort
lebih.
Kadang saya terburu suudzon
dengan mereka yang terkesan pamer di sosial medianya, namun setelah saya
renungi exhibis mereka memiliki infomasi tersirat. Bisa jadi mereka ingin
menunjukan bakatnya, menggaet simpati orang lain agar diapresiasi dimana hal
tersebut bukanlah hal yang salah. Bisa jadi itu memang menjadi sarana mereka
dalam mengoptimalisasi diri setelah sadar akan kekurangan maupun potensi
dirinya.
Tentu tidak bisa dibandingkan
jika yang ditemui adalah orang berprivilege tinggi, mereka tidak perlu
repot-repot menunjukan skillnya, menunjukan personalintinya, asetnya atau
pencapaianya di sosial media. Sebab mereka mudah mendapatkan jaminan akses
kedepan, minimal asset mereka bisa untuk membayar pintu.
Dalam makna lain, apa yang mereka
tunjukan berfungsi untuk menutupi celah-celah pada dirinya. Tidak ada manusia
yang sempurna, kita hanya menjalani hidup dengan caranya masing-masing. Menutup
celah dan membuka peluang semaksimal mungkin. Yang saya syukuri adalah
kesadaran diri saya, setidaknya jika saya tidak dilahirkan dengan privilege yang
belimpah, Saya masih bisa mengusahakanya dengan tulang dan pengetahuan yang
saya miliki saat ini. for better days.
Menginspirasi
BalasHapus