Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender Also knowed as LGBT. Terdengar familiar, menjadi topik harian media dan menjadi isu yang terus dipropagandakan. Terkait hal ini, hal yang paling mendasar adalah “keberpihakan”. Menentukan sikap, menjadi bagian dari pihak pro atau kontra, ini terdengar sederhana namun jauh lebih dalam dan memiliki banyak pertimbangan.
Disclaimer - Sebelum anda membaca ini lebih lanjut kemudian mengolok saya sebagai manusia kolot konservatif nan closed minded, saya ingin mengingatkan terlebih dahulu bahwa ini merupakan opini saya pribadi, ditulis dengan penuh tanggung jawab di blog saya sendiri.
Keresahan ini sudah menjadi perhatian saya ketika SMA, tetapi LBGT ini bukan topik yang didiskusikan secara serius oleh saya dan teman-teman, namun sekadar menjadi candaan untuk saling mengolok ketika impersonate pasangan gay. Hingga akhirnya selang waktu yang panjang kami benar-benar mendiskusikanya dengan serius karena shock mengetahui teman saya ada mendeklarasikan dirinya sebagai gay dengan lantang!
Saya mulai dengan pandangan umum terkait LGBT. Ketika membicarakan orang yang pro dengan wacana melegalkan pernikahan sejenis, maka alasan yang mereka gunakan tidak jauh dari Hak Asasi Manusia. Mereka menyuarakan HAM sebagai perisai sekaligus pedang untuk memperjuangkan suaranya. Ketika membicarakan orang yang kontra dengan isu tersebut, hal yang menjadi pertimbangan mereka masih dalam konteks agama, norma, budaya dan fitrah diri mereka sebagai manusia. Kemudian, untuk mereka yang netral terhadap LGBT bisa jadi bagian dari orang-orang yang berprinsip “asal tidak mengganggu saya, maka itu bukan masalah saya”.
Beragam, tetapi saya menentukan keberpihakan saya sebagai orang yang menentang keras LGBT, dan saya sangat siap untuk dianggap sebagai manusia kolot yang tidak mau menerima perubahan, tidak toleran, konservatif dan closed minded. Bagi saya cemoohan tersebut tidak sebanding ketika saya memosisikan diri sebagai “orang tua”.
Ketika membaca jurnal terkait kausalitas LGBT, ada yang mengemukakan penyimpangan ini terjadi karena genetical, seperti yang dijelaskan oleh ilmuwan University of Lethbridge pada jurnalnya yang mengkaji "Cross-Cultural Evidence for the Genetics of Homosexuality". kemudiaan pada artikel yang dirilis oleh peneliti sosiologi dari MIT university yang berjudul "No ‘gay gene’: Massive study homes in on genetic basis of human sexuality" berkata sebaliknya bahwa tidak ada gen yang mempengaruhi orientasi seksual. mudahnya, orientasi seksual lebih dipengaruhi oleh lingkungan atau sirkel sosialnya. dan saya meyakini pernyataan tersebut bahwa penyimpangan ini berasal dari lingkungan. Tentunya LGBT bisa disembuhkan.
Jika ditanya kenapa saya memilih tidak toleransi dengan LGBT ini? tentu saja berkaitan dengan keyakinan, norma dan juga fitrah saya sendiri sebagai manusia yang dilahirkan utuh. Dan mereka yang menggaungkan “ini masalah hormon pada diri”, “aku sudah ditakdirkan oleh tuhan untuk seperti ini” adalah omong kosong belaka, mereka hanya mengikuti nafsu! Tidak mengenali dirinya sendiri secara penuh, kemudian tidak dapat mengontrol dirinya.
Mereka berperisai pada tagline “my body my authority” dan juga lagi-lagi persoalan HAM. Padahal HAM pada hakikatnya bagian dari Nafsu pribadi yang bersinggungan dengan nafsu orang lain yang dikemas sebagai Hak individual. Bukan hanya HAM, Seni juga dipakai demikian. Sebagai sarana kebebasan. Karena pada dasarnya ada dua hal yang tidak memiliki batasan yang jelas yaitu HAM dan Seni. Dua hal tersebut seringkali dijadikan perisai untuk mengumbar hasrat pribadi maupun ego kelompoknya karena tidak memiliki limit yang pasti.
Kesenian dalam konteks "segmented art" juga digunakan sebagai sarana propaganda LGBT, mereka penyokong komunitas ini mempropagandakan LGBT dimulai dari anak kecil melalui serial kartun ataupun series anime. Pada rentang umur yang lebih tinggi, propaganda melalui seni ini merambah melalui industri film dan musik. Saya yakin teman-teman di sini sangat paham dengan hal yang demikian.
Kemudian kenapa mereka yang acuh dengan hal ini juga berbahaya? Tentu, meskipun mereka hanya diam dan memaklumi penyimpangan ini, secara tidak langsung mereka juga melazimkan perubahan tatanan norma yang ada. Yang sebelumnya orang-orang aware dengan perubahan dan penyimpangan, kedepanya akan menjadi pemakluman dan pembiasaan yang jelas-jelas merubah nilai-nilai yang berlaku, termasuk norma sosial dan norma agama.
Ketika norma dan nilai yang fundamental mulai luntur terdegradasi oleh pelaziman tersebut, maka patokan kita dalam hidup menjadi bias, tidak lagi bisa membedakan hal yang salah dan benar. Efek paling ektrim adalah hilangnya adab, dan manusia berkativitas secara bebas tidak lebih dari seekor hewan yang hidup tanpa norma dan nilai.
Ketika teman saya mendeklarasikan dirinya sebagai gay, hal yang paling sedih adalah membayangkan orang tuanya. Bagaimana tidak? anak yang dibesarkan, dibiayai, dicukupi kebutuhanya di perantauan tiba-tiba memutuskan diri untuk meninggalkan fitrah dirinya sebagai manusia normal demi masuk ke sirkel sosial baru. Untuk mengumbar nafsu dan untuk mendapat pengakuan dari teman-teman sejenisnya.
Pasti hancur perasaan orang tuanya mengetahui hal tersebut, mesti menanggung beban moral yang luar biasa, dan secara otomatis gagal menjadi orang tua. Mereka tidak lagi punya daya untuk meluruskan anaknya. Ya walaupun anaknya sudah dewasa dan menjadi individu yang bisa menentukan pilihanya sendiri hal itu tetap menyakitkan untuk orang tuanya.
Mereka yang liberal sebagai freedom thinker biasanya sudah masuk ke tahap yang cukup ekstrim, mereka beranggapan agama hanya sekadar dongeng. Mereka mengangung-agungkan kebebasan berekspresi untuk dirinya sendiri, melupakan nilai dan norma yang berlaku. Pola seperti ini cukup mudah di trigger dengan isu LGBT. Sebagai simbol penentangan norma! Menjadikan gaya hidup modern menjadi sarana mengumbar diri, menyalahkan hal yang benar dan membenarkan hal yang salah.
Jika mereview cerita keterkaitan antara kaum yang demikian dengan satanic clan, messiah conspiration dan penyambutan hari kiamat, pola ini sudah sangat jelas dan ditulis dengan rinci pada al-quran. dan semakin menarik ketika di era seperti ini mengaitkan kehidupan modern dengan agama malah dicap sebagai manusia konservatif. Tentu saya semakin yakin dengan apa yang saya pegang.
Lantas apa yang menjadi masalah untuk saya saat ini? apakah saya sekadar mengolok para LGBT? Tentu saja! Tulisan provokatif dan judgemental seperti ini bakal menjadi bagian dari kontrol sosial, mengimbangi narasi pro LGBT yang terus dipropagandakan di berbagai media oleh pelakunya dan juga komunitas bawah tanah mereka.
Setidaknya, saya juga mendeklarasikan diri dalam menentukan sikap.
Mempersiapkan diri dengan pola yang perlahan berubah, mengumpulkan informasi
yang cukup untuk menentukan langkah preventif, melindungi orang-orang terdekat
agar tidak terjerumus pada kesesatan yang nyata. Saya hanya berdoa, semoga kita
selalu diberi petunjuk menuju jalan kebenaran yang haqiqi.
Lanjut mas, 👍
BalasHapus