Lucu sebenarnya, semakin kesini
semakin banyak merenung. Meratapi proses yang tidak kunjung selesai, semakin
sadar kondisi, semakin paham posisi dan tentu semakin tahu bagaimana dunia itu
berkerja.
Mungkin untuk orang yang terlahir
dengan banyak privilege merenungi setiap proses bukanlah hal yang lumrah,
mereka senantiasa mendapat paket instan dengan hak-hak istimewanya. Dari kekuatan
ekonomi hingga sirkel natural karena parasnya.
Meskipun tidak tersegmen secara
eksplisit, diskriminasi sosial sangat terasa bagi mereka yang tidak lihai
beriteraksi, tidak memiliki modal material atau tidak memiliki alat-alat yang
dapat menyambung interaksi pada lingkaran sosial tertentu di sekitar kita.
Beberapa waktu yang lalu pernah
saya menuliskan bahwa bahasa yang paling mudah dimengerti adalah “Harta”, memang
terdengar menciderai namun itulah yang berkerja dilingkungan sosial kita saat
ini. sering digembar-gemborkan untuk “Jangan Menilai Buku Dari Covernya” tapi
apalah arti itu, kita sebagai manusia normal memang alaminya memproses
informasi secara visual di awal.
Lantas, apa yang menjadi masalah?
Masalahnya kita terlalu mudah termanipulasi oleh gemerlap dunia, impressi
palsu, standar hidup maksa, meskipun kita sudah sangat sadar bahwa cover itu
sangat mudah dibuat. Namun terus saja kita terlena dengan hanyut pada aliran
trend yang menyesatkan.
Hingga di suatu titik saya lebih
nyaman bersosialisasi dengan orang-orang yang memiliki umur jauh di atas saya,
kausalitas tersebut bisa saya identifikasi penyebabnya. Saya bisa duduk
berdiskusi serius dengan mbah-mbah yang mungkin gurauanya sudah sangat tidak
relate dengan zaman sekarang. Tapi di situlah saya bisa memahami pola-pola
bagaimana dunia itu berkerja. Mendapat insight dan juga ilmu dari pengalaman
mereka, memahami pola pikir orang tua dan pastinya memahami birokrasi disekitar
kita yang di dominasi oleh orang-orang tua.
Hal tersebut sangat berguna bagi
saya untuk berinterkasi, berkomunikasi hingga menjalin Kerjasama hal serius
dengan para senior meskipun saya hanya seorang anak kecil. Pola komunikasi kita
kepada orang tua tersebut akan mempengaruhi feed back mereka kepada kita, dari
yang saya dapat dari sirkel mbah-mbah tadi, saya bisa mengkondisikan agar tetap
dihargai sebagai orang yang memiliki hak setara tanpa memandang umur.
Terlalu sering saya mendengar
keluh kesah teman sepantaran ketika terjun di dunia nyata, misal ketika PKL
mereka malah dijadikan budak dan diperalat. Tidak bisa mengemukakan gagasan
atau ide mereka dilingkungan yang memandang mereka sebatas dari senior dan
junior.
Kesalahan yang saya amati adalah
bagaimana mereka berkomunikasi, mereka menganggap orang-orang tua tersebut bisa
memahami pola komunikasi sehari-hari dirinya sebagai milenial. Padahal tidak
demikian, norma yang mereka pegang dan yang milenial pegang sudah berbeda.
Sehingga menimbulkan misleading dalam interaksi tersebut.
Kembali pada permasalahan
“Impressi”, ini bukan permasalahan bagaimana orang lain memperlakukan kita,
tetapi sebaliknya bagaimana kita memeperlakukan setiap orang yang kita temui.
Orang jawa pasti paham dengan istilah “Empan Papan”, ini berkaitan dengan
bias-nya kita sebagai makhluk visual menjudge orang dari tampilan dan hal
eksternal lainya juga style-nya. Untuk itu saya membiasakan diri untuk
senantiasa menghormati siapapun yang saya temui apapun kondisinya. Sampai
dengan orang rese sekalipun saya belajar untuk menhormati dengan sekadar
mengiyakan setiap ucapanya.
Mungkin pemahaman seperti itu
bukanlah hal yang signifikan, tetapi untuk menyadari hal-hal yang saya rincikan
di atas memerlukan proses yang panjang, tidak instan dan tentu mesti mengalami
berbagai pengalaman yang tidak nyaman. Semakin berjalan semakin tahu bahwa banyak
hal kecil yang terlewat, hal yang tidak pernah dijabarkan dalam teks namun
selalu hadir dalam interaksi.
Hingga pada akhirnya paham, bahwa
proses untuk berbenah diri mesti diawali dengan “kesadaran”, rasa sadar inilah
yang memungkinkan kita bisa berbenah dengan mudah. Sadar dengan kemampuan yang
dimiliki, sadar dengan kekurangan yang ada, sadar di mana kita berada, kemudian
sadar apa dan bagaiamana hal yang kita hadapi. Kenapa mesti sadar? Sebab dengan
sadar dan memahami diri sendiri pada pola lingkungan yang bersinggungan, kita
dapat menemukan celah-celah yang memungkinkan untuk dibenahi.
Yang saya yakini, proses seperti
ini tidak ada ujungnya. “Self-Correction” berjalan terus menerus mengikuti
dinamika kehidupan kita. Dinamika tersebut pasti berbeda pada setiap individu, berkaitan
dengan kesempatan, mendapatkan masalah, mendapatkan achievement, sesi sedih,
sesi gembira, merasa terpuruk, terinspirasi dan bergairah hanyalah momen
sesaat. Jika bisa mengiterpretasikan, dinamika tersebut dapat mencerdaskan emosional
diri kita untuk lebih bisa mengontrol dan lekas sadar ketika larut dalam emosi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar