Ditolak Itu Menyenangkan!


Ditolak itu menyenangkan. Terdengar klise, namun diskusi saya dengan rekan terkait hal ini tersimpulkan demikian. Tentu kesimpulan ini bukan sekadar cletukan refleks ketika berdiskusi, namun benar-benar tervalidasi oleh pengalaman diri saya dan juga rekan saya. Pengalaman panjang perihal “Rejected Moment”.

 

Sedikit saya runtutkan dari dasar, sebenarnya keseharian kita senantiasa diiringi dengan harapan. Sesuatu yang dikehendaki, diinginkan dan ditunggu. Namun beberapa hal didunia ini tidak dapat dikontrol sepenuhnya dengan daya kita, kadang karsa kita bersinggungan dengan karsa orang lain. Individu hanya bisa mengontrol sepenuhnya pada apa yang ada di dirinya, tidak bisa mengontrol sesuatu di luar itu secara langsung, termasuk respon dan tingkah laku individu lain.

 

Di luar konteks takdir di tangan tuhan, manusia tentu selalu mengupayakan yang terbaik untuk dirinya sesuai kemampuan dan batasan yang ada. Upaya yang dilakukan senantiasa beriringan dengan konsekuensi. Jika dikaitkan dengan hukum “High risk, high return” tentu effort, risiko dan proses menuju tujuan selalu berbanding lurus. Terjal dan berpotensi meimbulkan kegagalan, termasuk risiko kehilangan.

 

Namun, perihal kehilangan ini memiliki banyak pandangan. Salah satunya teori yang dipaparkan oleh Elisabeth Kubler-Ross. Ia menjelaskan bahwa dalam proses pasca kehilangan, manusia akan mengalami 5 fase. Fase tersebut antara lain yaitu Fase menyangkal (Denial), Fase marah (Anger), Fase tawar-menawar (Bergaining), Fase depresi (depression), dan yang kelima Fase menerima (Aceptance).

 

Saya sepakat dengan teori ini, secara garis besar memang fase pasca mengalami kekecewaan kemudian kehilangan harapan akan menyangkalnya terlebih dahulu meskipun dalam hati (Denial), kemudian emosi mengetahui fakta yang terjadi (Anger), setelah itu merasa bersalah atau menyalahkan orang lain (Bergaining), Menangis, sulit tidur dan depresi memikirkan moment tersebut (Depreesion). Hingga pada akhirnya akan menerima kenyataan (Acceptance).

 

Yang menjadi masalah adalah seberapa lama individu bisa survive melewati fase-fase ini? tentu trigger dan impact dari kekecewaan itu sangat mempengaruhi durasi tiap fase hingga menemui titik ikhlas dan merelakanya, acceptance. Survive pada hal demikian bukan sesuatu yang dapat dilewati dengan instan, bisa jadi individu memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menerima kenyataan tentang sesuatu yang hilang, atau malah menerima kenyataan bahwa apa yang diharapkan sebenarnya tidak pernah ada!

 

Mengharapkan sesuatu yang tidak pernah ada? Ya, ini berkaitan dengan judul di atas, tentang penolakan merupakan moment yang menyenangkan. Bagaimana bisa? Tentu bukan secara harafiah ketika ditolak dalam suatu applyment kita mesti bergembira, namun harus bergembira karena kita mendapatkan jawaban atas penolakan tersebut dengan jelas.

 

Kejelasan atas penolakan tersebut yang mesti disyukuri! Sebab dengan penolakan tersebut individu bisa melewati 5 Fase di atas dengan lebih cepat. Lebih mudah beranjak dari fase Denial menuju fase Acceptance. Kenapa demikian? Bayangkan saja ketika kita applying anything kind, atau contoh ketika confess ke seseorang kemudian menghilang tidak ada jawaban sama sekali maka kita tidak pernah tahu. Didiamkan dan buta antara iya atau tidak. lantas bagaimana kita mendesisikan harapan yang ada? Individu tersebut akan senantiasa stuck di fase Denial, tidak bisa memutuskan langkah selanjutnya karena tidak ada yang memvalidasi fakta bahwa ia benar-benar ditolak.

 

Hal yang demikian bukanlah candaan, mengharapkan sesuatu yang tidak pernah ada. Moment stuck seperti ini bisa berlangsung bertahun-tahun dan terus menggangu kejiwaan seseorang. Memasuki alam bawah sadarnya hingga kadang tanpa disadari sering masuk kedalam mimpi. Sebab mimpi merupakan sesuatu yang terjadi secara hybrid antara memori nyata dan suatu memori imajinatif. Harapan yang tidak terealisasikan bisa dikatogorikan dalam memori imajinatif.

 

Maka dari itu, sebuah penolakan menjadi hal yang menyenangkan. Karena jawaban atas harapan yang dilontarkan tervalidasi dengan jelas. Tidak memakan waktu untuk mencari kebenaran atas situasi. Kemudian dengan mudah bisa melanjutkannya ke fase-fase berikutnya dengan tenang. Tidak ada lagi “Unconfirmed Answer”.

 

Dari pengalaman yang demikian, saya menyintesiskannya pada diri saya agar jelas dalam mengkonfirmasi sesuatu. Antara iya dan tidak  dijawab dengan tegas agar tidak membebani subjek atau objek yang perlu dikonfirmasi. Tentu mejadi beban jika diri saya menghantui kejiwaan orang lain karena hal-hal sepele.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar