Ditolak itu menyenangkan.
Terdengar klise, namun diskusi saya dengan rekan terkait hal ini tersimpulkan
demikian. Tentu kesimpulan ini bukan sekadar cletukan refleks ketika
berdiskusi, namun benar-benar tervalidasi oleh pengalaman diri saya dan juga
rekan saya. Pengalaman panjang perihal “Rejected Moment”.
Sedikit saya runtutkan dari
dasar, sebenarnya keseharian kita senantiasa diiringi dengan harapan. Sesuatu
yang dikehendaki, diinginkan dan ditunggu. Namun beberapa hal didunia ini tidak
dapat dikontrol sepenuhnya dengan daya kita, kadang karsa kita bersinggungan
dengan karsa orang lain. Individu hanya bisa mengontrol sepenuhnya pada apa
yang ada di dirinya, tidak bisa mengontrol sesuatu di luar itu secara langsung,
termasuk respon dan tingkah laku individu lain.
Di luar konteks takdir di tangan
tuhan, manusia tentu selalu mengupayakan yang terbaik untuk dirinya sesuai
kemampuan dan batasan yang ada. Upaya yang dilakukan senantiasa beriringan
dengan konsekuensi. Jika dikaitkan dengan hukum “High risk, high return” tentu
effort, risiko dan proses menuju tujuan selalu berbanding lurus. Terjal dan
berpotensi meimbulkan kegagalan, termasuk risiko kehilangan.
Namun, perihal kehilangan ini
memiliki banyak pandangan. Salah satunya teori yang dipaparkan oleh Elisabeth
Kubler-Ross. Ia menjelaskan bahwa dalam proses pasca kehilangan, manusia
akan mengalami 5 fase. Fase tersebut antara lain yaitu Fase menyangkal
(Denial), Fase marah (Anger), Fase tawar-menawar (Bergaining), Fase
depresi (depression), dan yang kelima Fase menerima (Aceptance).
Saya sepakat dengan teori ini,
secara garis besar memang fase pasca mengalami kekecewaan kemudian kehilangan
harapan akan menyangkalnya terlebih dahulu meskipun dalam hati (Denial),
kemudian emosi mengetahui fakta yang terjadi (Anger), setelah itu merasa
bersalah atau menyalahkan orang lain (Bergaining), Menangis, sulit tidur dan
depresi memikirkan moment tersebut (Depreesion). Hingga pada akhirnya akan
menerima kenyataan (Acceptance).
Yang menjadi masalah adalah
seberapa lama individu bisa survive melewati fase-fase ini? tentu trigger dan
impact dari kekecewaan itu sangat mempengaruhi durasi tiap fase hingga menemui
titik ikhlas dan merelakanya, acceptance. Survive pada hal demikian bukan sesuatu
yang dapat dilewati dengan instan, bisa jadi individu memerlukan waktu
bertahun-tahun untuk menerima kenyataan tentang sesuatu yang hilang, atau malah
menerima kenyataan bahwa apa yang diharapkan sebenarnya tidak pernah ada!
Mengharapkan sesuatu yang tidak
pernah ada? Ya, ini berkaitan dengan judul di atas, tentang penolakan merupakan
moment yang menyenangkan. Bagaimana bisa? Tentu bukan secara harafiah ketika
ditolak dalam suatu applyment kita mesti bergembira, namun harus bergembira
karena kita mendapatkan jawaban atas penolakan tersebut dengan jelas.
Kejelasan atas penolakan tersebut
yang mesti disyukuri! Sebab dengan penolakan tersebut individu bisa melewati 5
Fase di atas dengan lebih cepat. Lebih mudah beranjak dari fase Denial menuju
fase Acceptance. Kenapa demikian? Bayangkan saja ketika kita applying anything
kind, atau contoh ketika confess ke seseorang kemudian menghilang tidak ada
jawaban sama sekali maka kita tidak pernah tahu. Didiamkan dan buta antara iya
atau tidak. lantas bagaimana kita mendesisikan harapan yang ada? Individu
tersebut akan senantiasa stuck di fase Denial, tidak bisa memutuskan langkah
selanjutnya karena tidak ada yang memvalidasi fakta bahwa ia benar-benar
ditolak.
Hal yang demikian bukanlah
candaan, mengharapkan sesuatu yang tidak pernah ada. Moment stuck seperti ini
bisa berlangsung bertahun-tahun dan terus menggangu kejiwaan seseorang.
Memasuki alam bawah sadarnya hingga kadang tanpa disadari sering masuk kedalam
mimpi. Sebab mimpi merupakan sesuatu yang terjadi secara hybrid antara memori
nyata dan suatu memori imajinatif. Harapan yang tidak terealisasikan bisa
dikatogorikan dalam memori imajinatif.
Maka dari itu, sebuah penolakan
menjadi hal yang menyenangkan. Karena jawaban atas harapan yang dilontarkan
tervalidasi dengan jelas. Tidak memakan waktu untuk mencari kebenaran atas
situasi. Kemudian dengan mudah bisa melanjutkannya ke fase-fase berikutnya
dengan tenang. Tidak ada lagi “Unconfirmed Answer”.
Dari pengalaman yang demikian,
saya menyintesiskannya pada diri saya agar jelas dalam mengkonfirmasi sesuatu. Antara
iya dan tidak dijawab dengan tegas agar tidak membebani subjek atau objek yang perlu dikonfirmasi. Tentu mejadi beban jika
diri saya menghantui kejiwaan orang lain karena hal-hal sepele.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar