Akhir-akhir ini timeline
Instagram ataupun twitter saya dipenuhi keluh kesah tentang kekhawatiran mereka
untuk berkumpul dengan keluarga besar. Ya, ini berkaitan dengan memaknai
Ramadhan dan juga Idul fitri.
Saya mendapatkan banyak
insight dari keluh kesah orang-orang di sosial media yang saya simak belakangan
ini. Tersadarkan bahwa apa yang saya rasakan saat ini kadang bertolak belakang
dengan kondisi sebagian orang. Idul fitri yang semestinya menjadi momen “kemenangan”
untuk umat islam yang telah berpuasa Ramadhan, sering kali menjadi momok besar
yang mengubahnya menjadi sesuatu yang tidak asik dan membuat cemas.
Momen silaturahmi
yang semestinya menjadi ajang suka cita berubah menjadi zona adu pencapaian dan
juga lahan bullying berlapis candaan. Pertanyaan seperti “Kerja di mana?”, “Kapan
Menikah?”, “Kapan punya anak?”, “Kok Sekarang gendutan?”, “Kok sekarang kurus?”,
“lho kok masih pake motor?” mungkin terdengar sekadar template basa-basi, namun
hal basa-basi ini yang membuat mindset orang berubah ketika menghadapi idul
fitri dan perlahan menggeser maknanya secara perlahan.
Oke lah, jika pertanyaan-pertanyaan
tadi memang murni sebatas basa-basi untuk membuka pembicaraan dengan saudara
yang telah lama tidak bertemu, namun perlu dipahami bahwa apa yang kalian
tanyakan 100% bukan urusan kalian. dan semisal dijawabpun tidak akan mengubah
apapun. juga jika anda bertanya terkait pekerjaan dan memang diniati untuk menawari
pekerjaan yang real-pun momen lebaran seperti ini sangatlah tidak tepat. Bisa disimpulkan
orang yang menanyakan hal-hal tersebut hanya ingin mengkomparasikan dengan pencapaianya
masing-masing.
Jika ia bertanya
terkait pekerjaan, pasti dia ingin ditanyai juga terkait pekerjaanya yang ia anggap
prestis itu. Jika dia bertanya terkait kapan nikah atau kapan punya anak, bisa
dipastikan yang bertanya lepas menikah, atau baru saja menikahkan anaknya atau
baru saja punya cucu.
Reaksinya tentu
beragam, mungkin jika saya yang berada dalam posisi tersebut hanya sebatas
menjawabnya dengan “hehe” lalu pergi, namun cerita teman-teman saya tidak
demikian, pertanyaan sepele itu bisa merubah seseorang, ada yang memilih untuk
tetap bekerja di perantauan ketika lebaran karena ia merasa lebaran bukan
sesuatu yang spesial lagi, bahkan menganggap lebaran menjadi momen traumatis
karena takut dicerca dengan pertanyaan semacam itu.
Belum lagi perihal
kesenjangan ekonomi antar keluarga, gap tersebut membuat kondisi ketika
berkumpul semakin tidak nyaman karena topik yang dibicarkan berputar pada
pencapain sosial maupun material. Sedihnya lagi, cerita-cerita seperti ini di
twitter disenjangkan lebih nyata semisal si kaya berkumpul di depan dan si miskin
bagian cuci piring di belakang.
Dengan realitas
seperti ini, saya merasa bahwa ada yang salah dalam pola interaksi kita
terhadap sesama yang membuat makna “idul
fitri” ini bergeser. Namun, sebelum kita membahas apa yang mesti kita lakukan
untuk menghadapi hal tersebut, kita mesti memahami terlebih dahulu apa yang
membuat hal ini terjadi. Oke, kita mulai dengan memahami kebutuhan manusia, “Sebenarnya
apa yang dibutuhkan untuk hidup?” pertanyaan ini bisa terjawab oleh teori yang
dikemukakan oleh Abraham Maslow (1908-1970), seorang Psikolog Amerika yang
terkenal dengan piramida hierarki kebutuhan manusia seperti gambar berikut:
Pada Piramida
Kebutuhan Maslow tersebut menggambarkan lima tingkat kebutuhan manusia yang
berurutan, dimulai dari kebutuhan yang paling dasar hingga yang lebih tinggi.
- Pertama, kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan paling dasar, seperti makanan, air, dan tempat tinggal yang aman.
- Kedua, kebutuhan akan keamanan melibatkan perlindungan dari ancaman fisik, ekonomi, dan emosional, serta kestabilan dalam lingkungan hidup.
- Ketiga, kebutuhan sosial mencakup hubungan interpersonal yang bermakna, kasih sayang, cinta, persahabatan, dan dukungan sosial dari kelompok atau komunitas.
- Keempat, kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan melibatkan keinginan untuk dihargai oleh orang lain atas prestasi, harga diri, dan rasa percaya diri.
- Kelima, pada puncak piramida, ada kebutuhan akan aktualisasi diri, di mana individu berusaha untuk mencapai potensi penuh mereka, mengejar tujuan pribadi, dan menemukan makna hidup. Konsep ini menyiratkan bahwa manusia cenderung mencari pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi setelah kebutuhan yang lebih rendah terpenuhi, dan bahwa pemenuhan kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi memungkinkan individu untuk berkembang secara pribadi dan mencapai kesejahteraan yang lebih besar.
Namun, untuk memahami
permasalahan “Idul Fitri” di atas tadi, kita berfokus pada poin ke empat, yaitu
perihal kebutuhan akan penghargaan
dan pengakuan. Berdasarkan apa yang dipaparkan Abraham Maslow, hal ini
mengacu pada keinginan manusia untuk dihargai oleh orang lain dan diakui atas
prestasi mereka. Ini merupakan kebutuhan psikologis yang mendasar yang berperan
penting dalam memelihara harga diri, rasa percaya diri, dan motivasi intrinsik
seseorang. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, individu bisa merasa tidak
dihargai, merasa tidak berharga, atau kehilangan motivasi untuk mencapai
tujuan. Simplenya, mereka Tantrum karena jarang mendapatkan ruang untuk saling
mengapresiasi.
Dari kondisi
tersebut, bisa kita pahami bahwa mereka yang bertanya sebenarnya hanya Haus
akan Esteem Needs. jika kita ditanyai oleh pertanyaan basa-basi tadi, kita
cukup menjawab seperlunya dan balik tanya dengan lebih gencar, itulah yang sebenarnya
mereka harapkan. Mereka yang haus maka kita beri minum saja lalu lupakan. Ketika
mereka mulai asik dengan menceritakan dirinya, lambat laun akan perlahan
menceritakan kebodohan dan aib-aibnya. Pola interaksi demikian sebenarnya
sangat natural yang bisa muncul di situasi apapun.
Penting bagi kita
untuk memahami bahwa orang yang bertanya sebenarnya sedang mencari pengakuan
atas prestasi atau pencapaian mereka. Respons yang diberikan dapat membantu
memenuhi kebutuhan mereka akan penghargaan. Sementara itu, kesadaran akan
kebutuhan psikologis dasar ini juga memungkinkan kita untuk lebih bijaksana
dalam mengelola interaksi sosial, tidak hanya saat momen Idul Fitri, tetapi
juga dalam situasi lainnya.
Dengan demikian,
mengakui dan memahami bahwa interaksi sosial memegang peran penting dalam
memenuhi kebutuhan psikologis individu dapat menjadi langkah awal yang
signifikan dalam memperbaiki pola interaksi kita agar makna Idul fitri yang sangat
kita nantikan seperti saat kita kecil tidak bergeser menjadi suatu momen yang
mencemaskan. Tidak hanya dalam konteks Idul Fitri, tetapi juga dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan ini kita dapat memperkuat hubungan sosial dan menciptakan
lingkungan yang lebih mendukung bagi “Kesehatan mental” bersama. Untuk teman-teman
saya yang membaca ini, jangan berkecil hati. Mari kita beri minum orang-orang
haus itu!
Ketika sesorang sudah dapat memahami diri sendiri, saya kira hal demikian bisa kita antisipasi ataupun atasi dengan kendali emosional, sehingga tidak menjadi hal yang masuk ke perasaan, sehingga tidak mempengaruhi mood kita. Terimakasih sangat bermanfaat
BalasHapus