Sudah lama saya ingin menulis
ini, tentang bagaimana seseorang bisa mencapai sebuah posisi. Memahami faktor pendukung
sekaligus hambatan-hambatan yang lumrah ditemui setiap individu dalam perjalanan
mencapai tujuan. Bahasan ini sudah saya mulai sejak SMA, ketika saya masih
berkumpul dan membahas ini dengan sahabat saya di kos.
Yang membuat ini terlintas untuk
dipikirkan sebenarnya sederhana, yaitu rasa kagum terhadap orang-orang hebat yang
pernah dijumpai. Saya sendiri sering terheran ketika mengetahui teman saya
mendapat sebuah prestasi, “Kok bisa?” padahal secara pendek, kami seumuran dan
bersekolah di tempat yang sama. Namun kenapa kesempatan dan peluang kita tidak
sama?
Hal tersebut yang bertahun-tahun
menghantui perasaan saya ketika bertemu
dengan orang-orang baru yang memiliki track record luar biasa. Awalnya saya
berpikir bahwa kesempatan adalah kunci dari segalanya, doktrin yang sering saya
dengar dimanapun itu pasti merujuk pada “setiap orang memiliki kesempatan
yang sama, semua tergantung dengan kemauan kita”
Tidak sepenuhnya salah, tapi setelah
bertahun-tahun mencerna dan mengamati “kenapa kesempatan teman-teman saya lebih
nyata” saya semakin yakin bahwa pernyataan di atas hanyalah omong kosong! Saya meyakini
bahwa kesempatan setiap orang tidaklah sama, meskipun kesempatan itu dihadapkan
secara langsung dan bersamaan!
Saya generalkan saja dengan
contoh yang sederhana, sering kita menjumpai info lomba dengan hadiah yang luar
biasa. Jika berbicara peluang, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk
mendaftar dan mengikuti kompetisi tersebut, katakanlah para peserta meiliki
minat, pengetahuan dan skill yang sama rata. namun apa yang membuat mereka beda? Tentu saja
privilege mereka.
Privilege, hak istimewa yang
didapat secara langsung ketika kita dilahirkan. Diantara peserta tersebut ada yang dilahirkan
dari keluarga kaya, dan ada juga yang dilahirkan di keluarga berkecukupan. Terus
apa dampaknya? jelas fasilitas yang mereka gunakan berbeda dalam mengikuti
kompetisi tersebut. Meskipun skill mereka sama, dorongan emosional yang muncul
di setiap individu pasti berbeda.
Nah. Hal ini yang menurut saya
menarik! Bagaiamana bisa mereka orang-orang luar biasa bisa berperestasi secara
konsisten, memiliki ide, inovasi dan pola pikir yang senantiasa positif? Ya mereka
dilahirkan di lingkungan yang tepat. Dari beberapa teman yang saya jumpai, keluarga
mereka memang luar biasa, “Oo Pantes, si X kan anaknya bu Y” kalimat tersebut
sering muncul.
Melihat teman yang dilahirkan di
keluarga yang “Positif” adalah sebuah privilege yang luar biasa, kenapa itu
istimewa? Karena kita tidak pernah bisa memilih dilahirkan oleh siapa. kadang
hal tersebut juga yang membuat saya sadar bahwa kesempatan itu tidaklah sama.
Kagum, kadang sampai saya
kehabisan kata-kata ketika dihadapkan langsung sebuah hal yang luar biasa. Nyatanya,
kondisi sosial ekonomi berdampak besar pada pola pikir, manajemen emosi dan
juga kreatifitas seseorang. Mereka yang “kenyang” tidak lagi bingung memikirkan
hal dasar, pikiran mereka bahkan bisa berorientasi hingga misi perjalanan ke
planet Mars!
Frontalnya, bagaiamana bisa orang
yang sedang lapar dan berkerja keras mencari makan bisa berpikir jernih? Untuk hal-hal
pokok saja belum terpenuhi, pesimis kondisi seperti ini untuk berpikir jauh
walaupun itu bukan hal yang mustahil. Namun berbeda ketika anak orang yang sangat
berkecukupan membahas rencana, mereka tidak lagi terbayangi beban biaya,
kondisi sosial ekonomi keluarga dan juga keresahan akan pesimisme.
Mereka berkarya dengan tenang,
tidak lagi terganggu oleh hal-hal yang demikian. Perbedaan yang sangat mutlak
dan nyata tetapi sering diabaikan oleh banyak orang. Kebanyakan orang melihat
pencapaian secara sempit dari sudut personal subyeknya, mereka tidak mengamini
bahwa di belakang mereka ada peran orang tua yang secara langsung memberikan
dorongan material dan juga emosional.
Kemudian, satu hal lagi yang
membuat saya senantiasa bertanya-tanya ketika bertemu dengan teman yang amazing,
“Bagaimana pola parenting orang tua mereka ketika mendidik dia?” sebuah
pertanyaan pamungkas yang sebenarnya ingin saya tanyakan langsung pada orang
tuanya atau melihatnya langsung ketika ia di rumah.
Dari hal tersebut yang membuat saya
sadar, pencapaian bukan sekadar kerja keras. Namun segala peran pendukung atau privilege
berperan besar dalam perjelanan hidup seseorang. Contoh nyata? Lihat saja Pak
Nadiem dan Maudi Ayunda, mereka bukan sekadar orang biasa yang belajar dari
buku dan lulus ujian, tapi latar belakang keluarga mereka juga mesti dikaji.
Meskipun demikian, tanpa
privilege bukan berarti tidak ada harapan. Asal kita sadar dan mengenali diri
kita secara utuh maka menanamkan pola pikir dan memperbaiki aksi sangat mungkin
untuk menyetarakan diri dengan mereka yang berprivilege. Tentu tidak lepas dari
usaha dan doa. Optimisme menjadi senjata kita yang dilahirkan biasa-biasa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar