Setiap Orang Memiliki Kesempatan Yang Sama? Bullshit!

 


Sudah lama saya ingin menulis ini, tentang bagaimana seseorang bisa mencapai sebuah posisi. Memahami faktor pendukung sekaligus hambatan-hambatan yang lumrah ditemui setiap individu dalam perjalanan mencapai tujuan. Bahasan ini sudah saya mulai sejak SMA, ketika saya masih berkumpul dan membahas ini dengan sahabat saya di kos.

 

Yang membuat ini terlintas untuk dipikirkan sebenarnya sederhana, yaitu rasa kagum terhadap orang-orang hebat yang pernah dijumpai. Saya sendiri sering terheran ketika mengetahui teman saya mendapat sebuah prestasi, “Kok bisa?” padahal secara pendek, kami seumuran dan bersekolah di tempat yang sama. Namun kenapa kesempatan dan peluang kita tidak sama?

 

Hal tersebut yang bertahun-tahun menghantui  perasaan saya ketika bertemu dengan orang-orang baru yang memiliki track record luar biasa. Awalnya saya berpikir bahwa kesempatan adalah kunci dari segalanya, doktrin yang sering saya dengar dimanapun itu pasti merujuk pada “setiap orang memiliki kesempatan yang sama, semua tergantung dengan kemauan kita”

 

Tidak sepenuhnya salah, tapi setelah bertahun-tahun mencerna dan mengamati “kenapa kesempatan teman-teman saya lebih nyata” saya semakin yakin bahwa pernyataan di atas hanyalah omong kosong! Saya meyakini bahwa kesempatan setiap orang tidaklah sama, meskipun kesempatan itu dihadapkan secara langsung dan bersamaan!

 

Saya generalkan saja dengan contoh yang sederhana, sering kita menjumpai info lomba dengan hadiah yang luar biasa. Jika berbicara peluang, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendaftar dan mengikuti kompetisi tersebut, katakanlah para peserta meiliki minat, pengetahuan dan skill yang sama rata.  namun apa yang membuat mereka beda? Tentu saja privilege mereka.

 

Privilege, hak istimewa yang didapat secara langsung ketika kita dilahirkan.  Diantara peserta tersebut ada yang dilahirkan dari keluarga kaya, dan ada juga yang dilahirkan di keluarga berkecukupan. Terus apa dampaknya? jelas fasilitas yang mereka gunakan berbeda dalam mengikuti kompetisi tersebut. Meskipun skill mereka sama, dorongan emosional yang muncul di setiap individu pasti berbeda.

 

Nah. Hal ini yang menurut saya menarik! Bagaiamana bisa mereka orang-orang luar biasa bisa berperestasi secara konsisten, memiliki ide, inovasi dan pola pikir yang senantiasa positif? Ya mereka dilahirkan di lingkungan yang tepat. Dari beberapa teman yang saya jumpai, keluarga mereka memang luar biasa, “Oo Pantes, si X kan anaknya bu Y” kalimat tersebut sering muncul.

 

Melihat teman yang dilahirkan di keluarga yang “Positif” adalah sebuah privilege yang luar biasa, kenapa itu istimewa? Karena kita tidak pernah bisa memilih dilahirkan oleh siapa. kadang hal tersebut juga yang membuat saya sadar bahwa kesempatan itu tidaklah sama.

 

Kagum, kadang sampai saya kehabisan kata-kata ketika dihadapkan langsung sebuah hal yang luar biasa. Nyatanya, kondisi sosial ekonomi berdampak besar pada pola pikir, manajemen emosi dan juga kreatifitas seseorang. Mereka yang “kenyang” tidak lagi bingung memikirkan hal dasar, pikiran mereka bahkan bisa berorientasi hingga misi perjalanan ke planet Mars!

 

Frontalnya, bagaiamana bisa orang yang sedang lapar dan berkerja keras mencari makan bisa berpikir jernih? Untuk hal-hal pokok saja belum terpenuhi, pesimis kondisi seperti ini untuk berpikir jauh walaupun itu bukan hal yang mustahil. Namun berbeda ketika anak orang yang sangat berkecukupan membahas rencana, mereka tidak lagi terbayangi beban biaya, kondisi sosial ekonomi keluarga dan juga keresahan akan pesimisme.

 

Mereka berkarya dengan tenang, tidak lagi terganggu oleh hal-hal yang demikian. Perbedaan yang sangat mutlak dan nyata tetapi sering diabaikan oleh  banyak orang. Kebanyakan orang melihat pencapaian secara sempit dari sudut personal subyeknya, mereka tidak mengamini bahwa di belakang mereka ada peran orang tua yang secara langsung memberikan dorongan material dan juga emosional.

 

Kemudian, satu hal lagi yang membuat saya senantiasa bertanya-tanya ketika bertemu dengan teman yang amazing, “Bagaimana pola parenting orang tua mereka ketika mendidik dia?” sebuah pertanyaan pamungkas yang sebenarnya ingin saya tanyakan langsung pada orang tuanya atau melihatnya langsung ketika ia di rumah.

 

Dari hal tersebut yang membuat saya sadar, pencapaian bukan sekadar kerja keras. Namun segala peran pendukung atau privilege berperan besar dalam perjelanan hidup seseorang. Contoh nyata? Lihat saja Pak Nadiem dan Maudi Ayunda, mereka bukan sekadar orang biasa yang belajar dari buku dan lulus ujian, tapi latar belakang keluarga mereka juga mesti dikaji.

 

Meskipun demikian, tanpa privilege bukan berarti tidak ada harapan. Asal kita sadar dan mengenali diri kita secara utuh maka menanamkan pola pikir dan memperbaiki aksi sangat mungkin untuk menyetarakan diri dengan mereka yang berprivilege. Tentu tidak lepas dari usaha dan doa. Optimisme menjadi senjata kita yang dilahirkan biasa-biasa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar