Cetek dan Mudah Terprovokasi!



Memanasnya Palestina dan Israel akhir-akhir ini memunculkan respons yang beragam di seluruh penjuru dunia, tidak terlepas Indonesia.

Bagaimana tidak, Setiap hari trending topic twitter tidak jauh dari masalah serangan Israel ke Palestina yang kejam. Tentu saja hal seperti ini menuai banyak pro dan kontra, dari masalah keberpihakan hingga memanfaatkan momen sebagai alat memperlancar “misi” kelompok tertentu.

 

Komunikasi informasi saat ini membawa peran yang penting terhadap sudut pandang sebuah isu yang sedang hangat. Dengan mudahnya kelompok tertentu bisa menggiring opini publik melalui “secret campaign” dengan interakasi-interaksi setingan di sebuah platform sosial media.

Ya, mudahnya kita mendefinisikan sebagai buzzer. Mereka membuka sebuah topik kemudian meramaikanya sendiri dengan ratusan bahkan ribuan akun-akun anonim yang sudah dikoordinasikan.

 

Bukan sekedar mengangkat isu, namun juga mempengaruhi netizen yang polos, untuk bersimpati pada kasus yang sedang mereka gaungkan.

Secara naluri, orang-orang cenderung berpihak pada hal yang memiliki banyak pendukung, apalagi pernyataan yang mereka pakai adalah kalimat-kalimat provokatif yang membuat pembacanya berpikir dua kali. Tanpa disadari, interaksi palsu tersebut menggiring opini netizen yang polos, yang hanya ikut-ikutan berinterkasi dengan isu tersebut atau malah sengaja menyimpang dari suara publik agar terlihat “keren”.

 

Tidak jauh dari memanasnya Israel dan Palestina, saya terheran pada beberapa pernyataan warganet yang dengan vokalnya menyuarakan dukungan terhadap Israel, ada juga yang lantang berkata bahwa konflik di sana bukanlah urusan kita. Memang, masalah keberpihakan, dukungan, simpati, juga opini terhadap siapa adalah hak pribadi. Termasuk ketika saya menulis ini, menjadi salah satu kebebasan saya berpendapat. Namun, yang menjengkelkan adalah mereka bersuara tanpa dasar yang kuat, mereka menjadi “korban” atas penggiringan opini karena minimnya literasi tentang fakta sejarah.

 

Lucu ketika tahu bahwa mereka ikut bersimpati pada Israel hanya karena cuitan Gal Gadot yang playing victim di akun sosmednya. Mengamini pernyataan para pro-Israel karena percaya narasi-narasi konspirasi yang tidak jelas validitas datanya.

 

Di sini  makin jelas, bahwa minimnya literasi sejarah memiliki dampak yang masif terhadap sebuah perspektif isu. Dahulu  benar menenggelamkan sebuah fakta hanya cukup dengan membakar catatan, sekarang tidak perlu dibakar ataupun dilenyapkan, literasi sejarah yang valid dan mudah diakses saja tidak lagi di lirik.

 

Minimalnya, mereka mencari tahu kenapa Indonesia dengan tegas mengecam tindakan Israel. Heran, mereka lantang mengatakan “ini bukan urusan kita” padahal jelas-jelas Indonesia ada dan diakui secara internasional karena adanya pernyataan pengakuan negara-negara pendukung awal kemerdekaan RI, termasuk Palestina. Selain dari sisi “budi”, awal konflik Palestina dan Israel juga jelas-jelas terkait dengan perampasan paksa hak-hak pribumi Palestina, mengingat orang-orang Yahudi Israel sebenarnya adalah pengungsi “holocaust” pada era Nazi berkuasa.

 

Bagaiamana bisa pengungsi yang dulu memelas menjadi tidak tahu diri akan posisi awalnya, merampas hak-hak kemanusiaan dan memainkan peran  seakan-akan menjadi korban, atau memang benar-benar lemah? Mereka meluncurkan roket pada pelempar batu. Ini jelas melibatkan agama, namun kekerasan bukan lagi urusan “kelompok agama”  tapi lebih pada kemanusaiaan.

 

Tidak fair, jika teman-teman warganet ini begitu semangat menyuarakan Hak LGBT dengan mengatasnamakan  Hak Asasi Manusia namun menyuarakan enteng perang di Palestina dengan kalimat “Salah sendiri Hamas nyerang Israel duluan…” benar-benar miris!

Tidak tahu yang semacam ini membutakan diri dengan fakta atau memang tidak tahu persoalan geopolitik dan sejarah yang nyata?

 

Kekonyolan tidak berhenti di situ, bagaimana bisa beberapa tokoh publik di Indonesia juga ikut-ikutan menggoreng isu Palestina–Israel dengan mengaitkan persoalan Kekhalifahan, radikalisme juga terorisme yang sangat provokatif berlandaskan cocoklogi? Tidak heran jika mereka seperti itu, beberapa orang memang mencari makan dari kerjaanya untuk mengadu domba dan memecah belah masyarkat. Hati nurani tertutup lemak perut mereka.

 

Tapi sebenarnya semua masalah di atas tidak akan mempengaruhi apa-apa terhadap perspektif individu maupun komunal, jika mereka yang memiliki akal sehat mau mengecek ulang informasi, membaca fakta sejarah, memahami geopolitik, serta tahu posisi dirinya siapa dan di mana serta mempertanggung jawabkan segala pernyataanya. Maka, literasi menjadi penting sekalipun untuk sekadar menjadi warganet.

(Artikel ini telah terbit pada harian Radar Banyumas)

2 komentar:

  1. Menarik sekali mas tulisan yang ada tulis, tetap semangat menulis dan menyebarkan kebaikan lewat tulisan-tulisan yang kamu bagikan di blog ini mas

    BalasHapus