Saya menulis ini tepat di hari
lebaran kedua tahun 1442 hijriah. Nyeletuk saja tiba-tiba terlontar pertaanyaan
ke sepupu terkait “Bagaimana memaknai lebaran?” dengan santainya ia menjawab “ya
nikmati saja..” simpel tapi memang jawaban yang tepat untuk sekadar menjawab
pertanyaan iseng seperti itu.
Tapi, ada hal lain yang mendasar
terkait konteks “menemukan makna” di sini. di umur 20 tahun ini saya merasakan
bias pada hal-hal yang sebenarnya saya sendiri sudah tahu jawabanya. Karena yang
saya maksud adalah hal-hal subyektif tanpa standar pasti dalam kehidupan
orang-orang.
Contoh, hal-hal terkait
orientasi, tujuan hidup, pilihan-pilihan subyektif semisal harus menentukan
salah satu di antara harta, jabatan, paras, kecerdasan, keimanan atau kedamaian
dan ketenangan hidup.
Saya sering penasaran dengan
pilihan teman-teman sepantaran saya, mereka di usia 20 tahun akan memilih apa
di antara pilihan tersebut?, memang pasti jawabanya beragam sebab mereka juga
berbeda-beda dalam memaknai hal tesebut. Namun, alasan merekalah yang saya
pelajari untuk menemukan sudut pandang baru.
Sejak 2014 saya suka mengoleksi
catatan-catatan kecil terkait apa yang saya temui, Hingga saat ini catatan tersebut masih bisa
saya buka dan mengkorelasikanya. Untuk apa? Saya sendiri awalnya juga tidak tau,
hanya iseng menyimpan dan menjadikanya memori kolektif. Namun akhirnya saya mengerti
bahwa yang saya lakukan adalah sesuatu yang berdampak pada diri saya saat ini. Ya,
Benchamarking!
Benchmarking atau menolok ukur, dari
catatan-catatan tersebutlah saya belajar mengenali diri saya sendiri. Secara tidak
langsung saya tahu fase-fase perkembangan “mental” yang saya alami. Mereview
kesalahan-kesalahan masa lalu untuk dijadikan sebuah pengalaman, termasuk untuk
memaknai hal sia-sia yang pernah dijalani.
Dari catatan yang ada, 2016
menjadi tahun yang “penting”, sangat banyak moral value yang dapat saya
ambil. Bahkan momen-momen pada tahun tersebut masih tersimpan dengan jelas
dalam ingatan. Di sini saya tahu risiko akan menyimpan memori kolektif, satu
yang pasti adalah terjebak dalam masa lalu. Tapi diri saya yang concern terhadap
sejarah memiliki keyakinan bahwa peristiwa hanyalah siklus yang akan terulang kembali.
Mempelajari masa lalu adalah senjata menghadapi masa depan.
Lantas apa yang saya benchmark
dari semua ini? Jawabanya adalah Pola Pikir! Pengalaman-pengalaman yang terekam
membawa saya pada sudut yang menyeluruh yaitu pola pikir. Saya bisa
membandingkan pola pikir diri saya sendiri di tahun 2014, 2016 atau yang lain
dengan pola pikir saya saat ini. “Alasan atas pilihan” menjadi tolok ukur
paling jelas diantara hal-hal laten yang ada.
Maka dari itu saya sering
bertanya kepada sahabat-sahabat saya terkait alasan “kenapa kamu memilih itu?”
tentu bukan untuk dihujat atau sebagai bahan candaan, saya belajar menghargai keputusan
orang lain dan mempelajari dasar atas pilihan pilihan mereka sebagai refrensi
dan menjadikannya sebuah sudut pandang baru.
Dampaknya? hingga saat ini saya
senantiasa siap dengan segala keputusan yang ada di depan mata, cultural shock
proof pada suatu kondisi karena tidak asing dengan pola-pola dari masa lalu. Tapi
hal ini tidak menjadikan diri saya puas, rasa penasaran akan hal-hal baru
selalu menggebu dalam diri saya.
Bahkan, kadang menanyakan kepada teman
atas persitiwa lampau yang belum clear, menanyakan kejadian 5 tahun yang lalu
dan mereview apa yang menjadi salah saya pada saat itu, memastikan kesalahan
tersebut tidak terulang kembali.
Saat ini saya masih penasaran
atas jawaban dari pilihan yang ada di atas, terkait menentukan salah satu di
antara harta, jabatan, paras, kecerdasan, keimanan atau kedamaian dan
ketenangan hidup. Kenapa saya penasaran? Karena saya terlalu sering melihat
sesuatu hal yang tidak logis! Memang semua tidak harus dirasionalkan dengan
akal, tetapi hal tersebutlah yang menarik diri saya untuk mengetahui alasanya.
Perlu saya garis bawahi, bukan
persoalan julid atau terlalu ikut campur urusan orang lain. ini perihal menambah
sudut pandang yang luas untuk diri saya, mereview ulang terkait mereka yang
kurang tepat atau malah diri saya yang salah?
Contoh kasus seseorang dalam
memilih “masa depanya”, kenapa ada yang lebih memilih paras daripada kepribadianya?
Kenapa ada yang memilih harta padahal prilakunya abusive? Kenapa ada yang
menggadaikan keimananya demi sebuah hubungan?
Terlalu sempit otak saya untuk menilai dan mengetahui alasan-alasan dengan
asumsi. Sampai saya sendiri tidak berani berasumsi terkait hal tersebut hingga mendapat
alasan yang pasti dari sang “pemilih”. Hal-hal semacam itu yang membuat saya
bias, terlalu plural jika hanya untuk mengetahui makna.
Memang soal pertimbangan bukan
hanya dari beberapa item di atas, sangat banyak faktor yang memiliki peran
besar dalam sebuah keputusan. Ada yang rasional maupun benar-benar sebuah
pertimbangan konyol. Heran, kenapa mesti seperti ini? Ya jelas saja
subyektifitas erat kaitanya dengan rasa. Tidak ada patokan yang standar.
Tapi soal faktor “harta” saya
mendapat jawaban yang benar-benar membuat saya tertegun, cak nun dalam salah
satu videonya mengatakan “harta adalah bahasa yang paling bisa dipahami oleh
siapapun” sejenak saya mencerna kalimat tersebut, ia menjelaskan bahwa dengan
harta yang terlihat, orang bisa menilai, dan semua orang bisa memahami dari “first
Impression” tidak peduli ia orang berpendidikan atau tidak, orang pedalaman,
orang tua, muda hingga anak kecil bisa menilai orang hanya dari harta.
Sebuah fakta yang tidak bisa dielakan,
insecure? Pasti! Logis saja, umur 20 tahun, bukan anak dari jutawan yang punya privilege
maksimal. Untuk tetap eksis dalam masayarakat saja mesti jungkir balik. Jika ditanya punya apa? Saya hanya
bisa menjawab diri saya memiliki karsa! Ide, gagasan dan semangat.
Salah memang membandingkan diri
sendiri dengan orang lain, tetapi setidaknya kita tahu kemampuan diri kita dan
selayak apa untuk dipilih dan memilih? Sampai
saya sendiri bingung bagaimana mengimpresi tanpa memiliki harta?
Tapi nyatanya saya bisa
menyampaikan gagasan pribadi pada tulisan ini hingga kalian selesai membacanya.
Bukan cuci otak, hanya sharing terkait memaknai sebuah pilihan. Lantas, Apa iya
umur 20 tahun tidak bisa memilih dengan matang hal-hal prospek di masa depan?
#Selfremind
Selamaat! Anda berhasil membuat Saya membaca tulisan Anda hingga selesai!
BalasHapushehe, you are traped
Hapus