Major of minor, sering kalimat
itu menjadi penenang saya ketika merasa
ada sesuatu yang tidak adil. Tidak adil akan hal-hal subjektif yang saya temui
sehari-hari. Mungkin bisa dikatakan sebuah masalah mainstream yang dialami
banyak orang. Apapun itu bisa terkait konflik batin, tekanan orang rumah, keuangan
hingga percintaan.
Tetapi, ketidak adilan itu
hanyalah sebuah subjektifitas yang sangat ego. Bukan masalah siapa kita dan bagaimana
mereka, namun merujuk pada bagaiman kita menyikapi sebuah kesenjangan tersebut
dengan rasa ikhlas.
Ada mereka yang selalu menuntut
hak dan lalai akan kewajibanya, ada juga yang selalu memenuhi kewajibanya tapi
tidak pernah menikmati haknya. Semua semu dan bias ketika melihatnya dari satu
sudut pandang. Padahal banyak hal yang perlu di crosscheck dengan sudut pandang
yang luas.
Sering saya lakukan ketika melakukan
“troubleshooting” akan suatu masalah
yang saya hadapi, yaitu dengan menempatkan diri sendiri sebagai mereka. Mensimulasikan diri jika berada di posisi
mereka, menentukan Langkah apa yang paling tepat dengan cermat.
Terus apa kaitanya dengan ikhlas?
Ya, jelas ada. Dengan memposisikan diri kita sebagai mereka, maka kita bisa
membayangkan kesulitan apa yang mungkin mereka hadapi ketika mencoba memenuhi hak
kita. Secara tidak langsung rasa menggebu menutut hak akan berangsur angsur tenang.
Tapi hal seperti ini bukan untuk
dilakukan pada setiap masalah, hanya sebagai salah satu pilihan dalam
menyelesaikan masalah personal. Bukan dalam persoalan khalayak.
Sebab, kita perlu mengerti apa
kelebihan mereka, apa kekurangan mereka. Memahami bagaimana saya dan siapa saya,
lalu apa saja yang perlu di koreksi. Sebab setiap individu memiliki major of
minor, kelebihan atas kekurangnya dan kekurangan yang mendominasi pada dirinya.
Major of minor, memang memiliki
bermacam interpretasi. Namun apapun itu, bisa menjadi kalimat penenang diri
saya. Menyadarkan hati agar tidak larut
dalam emosi yang menguras energi. Dengan memahami akan banyak kekurangan pada
diri sendiri dan memahami potensi yang ada diatas kekurangan yang nyata.
Sederhananya, Major of minor membawa saya agar tidak mudah iri,
dengki dan benci atas pencapaian orang lain. Menyadarkan bahwa disini tidak ada
yang sempurna, kita semua punya masalah, kita semua punya potensi. Hanya levelnya
saja yang berbeda.
Dalam beberapa kasus yang saya alami,
mereka yang punya banyak harta, mereka yang punya banyak teman, mereka yang
punya banyak tawa dan mereka yang bisa mencapai apapun dengan effort yang minimpun
tidak senantiasa Bahagia. Ada kalanya mereka yang hidup dalam keterbatasan bisa
menemukan makna dalam hidup, bisa menikmati setiap hembusan nafas dengan lega. Dan
yang membedakan hanya satu hal, yaitu pandai bersyukur atas kesadaran limit
kemampuan mereka.
Fokus dengan apa yang menjadi
prioritas, melakukan benchmarking dengan hal yang ia perlukan dalam menjalani
hidup secara dasar, bukan untuk mengajar popularitas, mengejar pujian atau hal
hal yang membuat dirinya merasa naik kasta.
Ya, benchmarking atau menolok
ukur dengan “ngaca”, bersyukur atas apa yang ada dan tidak pernah memaksakan hal-hal
yang bukan porsinya. Bukan berarti harus berdiam diri mengikuti nasib, tetapi berusaha
dalam garisnya dengan melihat potensi dan kekurang pada dirinya.
Memang sulit untuk ikhlas, apalagi
terkait dengan hal yang terlalu senjang dalam hadapan mata, seperti melihat
people I can’t have Bersama orang lain
yang mungkin dirasa tidak lebih baik dari diri kita, namun Major of minor menyadarkan
diri saya bisa saja ada kekurangan dalam diri saya yang tidak diterima oleh
mereka dan mungkin juga ada yang lebih baik untuk saya daripada dia.
Ya easy to say, kita semua memiliki rejeki, plot, garis dan privilage masing-masing. tapi, setidaknya saya
menulis ini untuk menyehatkan mental diri saya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar