Formalitas dan Legalitas Maksa!



Hobi, bakat, minat apapun itu yang berorientasi pada ego adalah hal dasar yang bisa menggerakan sesorang karena ketertarikanya. Banyak hal yang berawal dari hal-hal tersebut. Dari hanya sekadar membunuh waktu, mengembangkan diri hingga berorientasi pada hal yang berpengaruh untuk masyarakat luas.

Sayangnya, semua terpaut pada kuantitas. Entah itu kuantitas secara fisik maupun kuantitas secara “feels”. Ya saya menulis ini hanya untuk menyampaikan opini saya, setuju ataupun tidak itu hak anda. Hanya ingin menyampaikan realita yang saya amati dalam sudut pandang terbatas. Tetapi saya yakin ini adalah hal yang umum dijumpai.

Jika kalian pernah melihat orang dengan setumpuk sertifikat, berjejer plakat dan bermacam “symbolic pride” pada dirinya, hal apa yang pertama muncul dipikiran kalian? Mungkin bisa jadi kalimat “waah”.... “wooow” “luar biasa” ya betul memang lazim untuk dikagumi.

Tetapi seketika, perspektif saya bertentangan dengan hal seperti itu. Ya! setelah membaca beberapa artikel yang membahas peluang pasar kerja di masa depan, terkait dengan uji kemampuan dan keahlian real. Kenapa hal itu membuat saya berpikir terbalik? tentu saja, karena poin dari pergerakan pasar kerja sekarang secara menyeluruh berorientasi pada keahlian spesifik. Dan hal-hal formal malah dinilai tidak kredibel.

Lho kok bisa?  Lihat saja contohnya, sekarang lebih banyak perusahaan, startup ataupun prospek kerja yang membuka lowongan dengan mempertimbangkan portofolio karya, bukan lagi setumpuk sertifikat dan gelar yang panjang setelah nama.

“Itu kan Cuma di beberapa bidang!?” Sebentar! Cek lagi hal-hal di sekeliling, termasuk ketika bertanya pada diri sendiri seperti.... “sesuai kah saya dengan pendidikan yang sedang saya tempuh? Apakah saya akan benar benar profesional dalam bidang ini? apakah saya yakin bisa optimal dengan hal-hal ini?” jika jawaban-jawaban itu ragu, Fix! Bisa menjadi kandidat-kandidat pekerja konyol.

Konyol? Iya! Sebab jika keraguan dan ketidaksesuaian tersebut berlanjut hingga benar-benar menjadi “pekerja” maka semua pekerjaan tersebut selamanya menjadi “rutinitas” yang tidak bisa dinikmati. Tidak optimal dan tentunya akan merusak sebuah tatanan.

Ya memang tidak semuanya begitu, tetapi semaksimal apa kalian mengerjakan sesuatu yang kalian tidak suka? Tentu tidak akan maksimal. Maka dari itu, parameter “layak kerja” pada suatu bidang adalah “passion” pada bidang tersebut.

Kembali lagi terkait kuantitas, sebelumnya saya pernah menulis celotehan saya tentang para penyembah sertifikat, kenapa dengan sertifikat? Apakah ada yang salah? Tentu tidak ada yang salah, saya juga percaya akan sebuah statmen dalam selembar kertas tersebut, tapi khusus yang di rilis oleh lembaga yang kredibel. Saya garis bawahi, lembaga yang kredibel!.

Dan kenapa nilai sebuah “sertifikat” di masa sekarang menjadi murah dan tidak seberharga dulu yaitu perihal motif dan latar belakang serta kualitas dari lembaga yang mengeluarkan sertifikat tersebut.

Kenapa? Ya bukan menjadi rahasia lagi, untuk sekelas mahasiswa saja sertifikat bisa mencetak sendiri, membuat tanda tangan palsu dan legalitas yang mekso! Dengan latar belakang acara hanya sekadar untuk menggugurkan progja organisasi, untuk kepentingan LPJ pendanaan, untuk mengais dana, mengais keuntungan, menutup periode. Bukan lagi berlandaskan niat murni terkait “mencerdaskan bangsa”.

Asal cetak, asal bagi. Itu salah satu bukti kenapa kertas tersebut sudah tidak kredibel sebagai acuan seorang HRD ataupun penyeleksi pekerja untuk mempercayai hard skill ataupun soft skill dari pelamar tersebut.

Itu hanya sebagian kecil dari bobroknya sebuah legalitas, formalitas dari hal-hal yang ada di sekitar. Jika melihat lebih jauh, hal semacam itu banyak terjadi di berbagai sektor. Anggap saja Skripsi, ada mahasiswa yang mati-matian mengerjakan, ada juga yang asal buat dan lulus. Semua tergantung kualitas dari lembaga.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah sebuah ide pemikiran yang disusun menjadi Skripsi ataupun tesis tersebut akan mempengaruhi tatanan? Tentu tidak ada yang tahu, semua tergantung dimana dan bagaiamana.

Termasuk ide-ide yang muncul di kompetisi pun jika tidak terakomodasi dengan baik akan menjadi sampah. Stuk di otak kreator dan tidak berpengaruh apa-apa untuk dunia luar, atau malah setelah menang hanya menjadi teks yang perlahan dilupakan.

Kembali ke portofolio karya, kenapa saya katakan ini lebih prospek di dunia kerja di masa depan? Ya karena yang dinilai adalah proses dan hasil. Bukan lagi bukti proses. Analoginya, jika ada hasil maka pasti ada daya. Tidak peduli darimana daya tersebut. Seberapa kuat sistim seperti ini? lihat saja perusahaan google, facebook ataupun amazone yang memperkerjakan orang atas dasar Skill, bukan Kertas dengan sebuah penyataan “Bisa”.

Ya memang tidak semua lembaga seperti itu, contoh orang yang berkerja di pemerintahan. Mendaftar dengan tes dan setumpuk kertas. Namun bisa dilihat, ada yang profesional dan ada yang tidak. Faktanya, banyak yang tidak profesional. Cek saja lembaga disekitar!

Disini saya tidak menggeneralisasi, semua plural dan dinamis, hanya beropini atas apa yang saya alami dan lihat sendiri. Melecehkan atau merasa terfitnah? Silakan crosscheck apakah ada yang salah?

"Lho, saya kan mau jadi pengusaha, bukan jadi karyawan atau pegawai!?"
Ya terserah saja, disini tidak ada subyek spesifik, tulisan bebas di platform sendiri. Sudut pandang saya, Havid Adhitama.

Semoga rekan-rekan yang membaca ini bukan termasuk dari bagian, dan menjadi  manusia yang siap bersaing tanpa ke-bullshitan formalitas legalitas, menjadi manusia yang mumpuni di situasi apapun dimanapun. 73!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar