Tidak jarang saya menemukan Insta
story atau tweet sesesorang yang usianya sepantaran dengan saya tapi masih
mempermasalahkan sirkel pertemananya. Mungkin ini subjektif untuk dibahas,
tetapi saya ingin menyampaikan sudut pandang.
Jelas, kita merupakan makhluk
sosial. Lingkungan keluarga,sekolah hingga pertemanan entah sedikit atau banyak
pasti akan mempengaruhi diri kita dalam bertindak maupun berpikir. Karena
interaksi antar individu bisa menimbulkan Empati, simpati, identifikasi dan
imitasi.
Dalam hal itu, kualitas seseorang
bisa dilihat dari apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan. dua hal tersebut
sangat bergantung pada apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Jika
digeneralisasikan mungkin akan merujuk pada deskripsi bahwa “menjadi orang baik
harus bergaul dengan orang baik juga” atau sebaliknya.
Generalisasi tersebut bisa jadi
benar ataupun salah, itu yang saya yakini. Sebab pengaruh lingkungan tidak akan
berdampak besar bagi individu yang memiliki
pegangan yang kuat. Pegangan yang dimaksud disini adalah kiat-kiat hal
yang benar dan salah menurut individu tersebut, atau nilai.
Nilai yang tertanam pada individu
dipengaruhi oleh lingkungan terdekatnya yaitu keluarga. Dimana hal yang ia
yakini benar dan salah didapat dari apa yang ada pada keluarga, termasuk orientasi dirinya di masa depan.
Sayangnya, tidak semua orang beruntung bisa mendapat sosok figur ataupun
lingkungan yang baik untuk berkembang.
Akibatnya, banyak sekali orang
yang tidak bisa membedakan hal yang salah dengan yang benar, tidak memiliki
prinsip dan orientasi yang tepat. Sehingga ketika berada di fase yang
seharusnya bisa menyelesaikan masalah dirinya dengan tepat, malah menjadi
kehilangan arah dan stres akibat tidak tau hal apa yang harus ia lakukan.
Bercerita, mungkin sebagian orang
menjadikan ini sebagai stress healing ataupun bentuk ekspresi emosi dalam
jiwanya. Namun bercerita dan mengungkapkan sesuatu tidaklah solutif jika apa
yang diceritakan dan orang yang diajak bercerita tidak tepat.
Berbuat salah adalah sesuatu yang
lumrah. Tetapi ketika seorang individu terus menerus mendapatkan masalah, dapat
dipastikan ada yang salah pada dirinya. Padahal kesalahan diawal seharusnya
bisa menjadi acuan untuk langkah selanjutnya. Namun, banyak yang tidak sadar.
Beruntunglah kalian yang bisa
memetakan kesalahan-kesalahan lalu berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi
lebih baik. Sayangnya untuk mendapatkan kesadaran seperti ini sangatlah susah,
harus bentrok dengan ego diri sendiri.
Bentrok dengan pikiran pikiran yang
terbatas, pikiran yang tidak sinkron antara realitas dengan ekspektasi. Tetapi konflik
internal inilah yang akan membuat sesorang akan sadar tentang posisi dirinya
dan hal apa yang paling tepat untuk dilakukan.
Terlebih lagi dalam hal mengambil
keputusan. Merencanakan sesuatu memang mudah, tetapi ketika menjalani sesuatu di
situasi yang mengharuskan diri untuk improve adalah survival yang sangat
bernilai. Disini diri kita akan benar-benar di uji bagaimana kita menyikapi
pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Masalah salah benar itu urusan
belakang, asal niat kita lurus maka segala jalan untuk mencapai tujuan akan
selalu ada. Walaupun harus banyak pengorbanan, termasuk mengorbankan “harga
diri” sekalipun. Mengambil keputusan diperlukan optimisme dan pikiran yang positif.
Termasuk berani mengambil
keputusan untuk meninggalkan hal-hal yang kita sayangi. Ketika hal-hal tersebut
membebani diri kita untuk melangkah, saya lebih yakin untuk meniggalkanya.
Beban tidak hanya diartikan
sebagai tuntutan, tetapi hal yang membuat suasana menjadi toxic, penuh dengan
pesimisme, keluh kesah tanpa aksi, dan kepasifan juga termasuk. Sebab secara
tidak langsung energi-energi tersebut akan mempengaruhi diri kita walaupun apa
yang kita pegang lebih kuat.
Jika bertanya, “kenapa tidak kita
rubah saja agar mereka yang terpengaruhi oleh kita?” saya kurang yakin dengan
hal ini, ini hanya sebatas idealisme seseorang yang dibutakan oleh perasaan. Cerita
tentang merubah sikap dan kebiasaan seseorang dengan kata kata manis hanyalah bullshit.
Mereka hanya berlaku berbeda ketika di depan kita.
Individu dapat berubah ketika ia
memiliki motivasi yang kuat pada dirinya serta pengalaman-pengalaman itulah
yang memungkinkan membawa perubahan. Doktrin sekelas cuci otak pun akan kalah
dengan motivasi internal.
Meskipun begitu, percaya diri yang
tinggi dan hasrat yang menggebu perlu juga diimbangi dengan mendengar
pengalaman orang lain. Bukan berarti menjadi diri sendiri adalah memblokir
semua masukan dan percaya pada egonya. Mendengarkan adalah kunci, dimana kita
bisa memetakan apa yang sedang terjadi di sekitar, mengerti apa yang orang lain
inginkan, mengetahui pola-pola sosial lingkungan sekitar kita.
Mendengarkan dan melihat juga merupakan
sarana yang sangat ampuh untuk merencanakan aksi sebelum eskekusi. Menghindarkan
diri kita dari ke-egoisan ketika berinteraksi serta akan membuat diri lebih
bijak pada setiap langkahnya.
Ya di sini saya hanya sebatas
bercerita tentang apa yang saya lihat, apa yang saya alami dan saya rasakan. Nyatanya,
berteman dengan orang-orang penuh optimisme dan visioner memang akan mempengaruhi
diri kita pada hal yang baik. Positive vibes benar-benar terasa. Berbeda dengan
mereka yang mengaku pembawa “Positive Vibe” tetapi toxic di setiap aksinya.
Optimis dan visioner berbeda
dengan ambisius. Optimisme yang benar akan mempengaruhi alam bawah sadar diri
kita untuk senantiasa berhasil. Walaupun merasakan kegagalan, rasa gagal
tersebut bukan menjadi sebuah halangan.
Ini hanya opini saya, perkara benar
salah setuju atau tidak tidak ada yang memaksakan anda untuk mengamini ini.
hanya ingin mengingatkan, dimana posisi anda dan sedang bersama siapa saat ini,
itu akan mempengaruhi diri kita pada esok hari.
Mantapp broo setuju dngan pendapat mu
BalasHapusthanks bro
BalasHapus