Para Penyembah Sertifikat




Sudah satu tahun lebih saya menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang,  banyak  hal-hal baru yang tidak saya temui semasa SMA. Namun saat ini, saya tidak merasa berada di lingkungan yang lebih baik dari lingkungan SMA dulu.   Bukan berarti saya mengatakan lingkungan saya saat  ini buruk, sebab parameter setiap orang untuk menilai berbeda.

Saya berani mengatakan hal ini karena fakta, parameter yang saya bandingkan adalah perkara mindset civitas terkait kualitas dan quantitas. Sebelumnya, sedikit saya ceritakan bagaimana persaingan dilingkungan waktu SMA, di SMA saya merasa santai, kegiatan sekolah dan diluar sekolah bisa saya lakukan dengan beriringan, kegiatan non-akademis pun tetap didukung sepenuhnya. tujuan-tujuan akademik yang diberikan oleh guru juga tercapai dengan optimal. Persaingan akademiknya pun sehat dan mengesankan.

Sebenarnya saya heran, kenapa teman seangkatan ataupun kakak kelas SMA setelah masuk kuliah banyak yang menonjol di lingkungan barunya?    Setelah saya sadari, mereka menonjol karena softskill mereka yang terasah sejak SMA dengan baik. Memang betul, di SMA saya sangat diberi ruang untuk mengasah diri dan tidak dipersulit ketika seorang siswa ingin melakukan hal yang positif. Karena memang dilingkungan ini lebih mengutamakan kualitas. Ini berdampak bagi lulusanya, termasuk saya sendiri walaupun tidak tahu bagaimana kapasitas saya saat ini.

Setelah lulus dan masuk di universitas, awalnya saya merasakan “cultural Shock” banyak hal-hal yang tidak sesuai ekspektasi di jurusan yang saya pilih. Di awal masuk saja saat orientasi, saya sudah di plot dengan kegiatan-kegiatan wajib, entah dari universitas, fakultas maupun jurusan. Rangkaian wajib ini selalu berdalih dengan “sertifikatnya syarat untuk skripsi” apalah daya maba yang polos tidak tahu apa-apa, pasti tidak bisa mengelak dengan kegiatan semacam ini.

Memang tidak salah, output kegiatan wajib ini memang memiliki dampak yang besar dan berguna untuk masa depan. Tetapi jika ditinjau dari kegiatanya, mungkin terlalu banyak bagian-bagian yang useless yang mengaburkan esensi utamanya. Sehingga kadang saya merasa kegiatan semacam ini hanya untuk menggugurkan program kerja dari setiap divisi dalam lembaga mahasiswa terkait. Goal dari tujuan utamanya tidak tersampaikan dengan baik.

Yang tidak kalah menarik, disini saya menjumpai banyak teman yang masih terbawa “suasana awal masuk kuliah” terkait  mengoleksi sertifikat. Ya memang harus diakui, mengumpulkan sertifikat untuk portofolio adalah hal yang penting untuk mahasiswa, setelah lulus pun bisa menjadi nilai plus untuk mendaftar kerja.

Tidak menjadi masalah sebenarnya. Tetapi kenapa di setiap acara, ada atau tidaknya sertifikat dijadikan pertimbangan untuk hadir?  Sebegitukah pentingnya sertifikat sehingga melupakan esensi dari acara dengan tema menarik?
Sering saya mendengar teman yang menyebar pamflet suatu diskusi publik atau sejenisnya, ketika mempromosikan awalnya tidak ada yang minat, tetapi setelah ia mengatakan ada sertifikat dengan ttd rektor, auto full kuota pendaftaranya.

Padahal sertifikat komptensi pun tidak bisa menjamin bahwa pemiliknya itu memiliki wawasan ataupun skill sesuai dengan yang tertera pada lembar sertifikatnya.  Hal yang lebih urgent daripada sertifikat sebenarnya adalah terkait esensi dari semua hal tersebut, dengan kegiatan-kegiatan semacam itu sebenarnnya yang diharapkan  adalah kita memiliki wawacan yang luas dan skill yang mumpuni, bukan hanya sekedar selembar kertas bukti keikutsertaan.

Lebih parahnya lagi ada sebagian teman, yang menjadi panitia tetapi tidak tahu mengenai konten dari event yang ia pegang, ia hanya fokus pada tugas pokoknya saat acara dan mengejar sertifikat kepanitiaan.

Selain perkara “menyembah sertifikat”, masalah tentang mengutamakan kuantitas atau jumlah disini juga bisa dijumpai di ruang kelas. Contoh nyatanya yaitu masih banyak yang ketika diberi tugas dosen lebih merujuk pada “sing penting tulisane akeh”   sedih saya ketika mendengar teman dengan pola seperti ini. Padahal dosen memberi pertanyaan ingin dijawab dengan lugas, tegas dan padat. Bukan jawaban deskripsi yang ngalor ngidul bertele-tele.  Ketika diberi tugas resume bukan malah dipersingkat, melainkan hanya memindahkan tulisan dari suatu paragraf. Sekali lagi, itu bukan hal yang salah tetapi itu suatu hal yang perlu kita benahi agar kita berorientasi pada kualitas, bukan kuantitas. Untuk apa kita memiliki sesuatu yang banyak tetapi kurang bernilai? Bukankah lebih baik memiliki sedikit hal tetapi berharga?

Untuk temanku yang membaca ini, sebenarnya saya ingin mengajak kalian untuk bergerak ke hal yang lebih baik, saya mengajak bukan berarti merasa lebih baik dari teman-teman semua, melainkan sebuah manifestasi kepedulian saya terhadap teman-teman agar tidak terjebak pada pola-pola yang kurang tepat. Saya tidak menggeneralisasikan semua masalah tersebut, tetapi ini mungkin cukup mewakili, saya tidak bermaksud menyinggung, disini saya hanya menyampaikan fakta apa yang saya jumpai dilingkungan saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar