The Lone Transmitter

 


Saya percaya bahwa setiap individu memiliki suatu masa di mana ia terus-menerus mengirimkan sesuatu ke dunia entah itu karya, pemikiran, tulisan, atau doa tanpa tahu pasti siapa yang akan menangkapnya. Fenomena ini menarik bagi saya, terutama ketika semua yang dikirimkan itu ditujukan bukan untuk sekadar dikenal, tetapi untuk menyambung rasa, menyampaikan pesan, atau menjaga eksistensi sebuah koneksi yang pernah ada.

 

Konsep ini sangat dekat dengan dunia amatir radio. Seorang amatir radio kadang mengudara dengan satu kalimat sederhana namun penuh makna: “CQ CQ CQ...”. “Seek You” Itu adalah panggilan umum, sebuah seruan terbuka yang berarti: "Saya mencari siapa saja yang mendengar, mari terhubung." Dalam dunia mereka, ini bukan hanya soal komunikasi teknis, tetapi sebuah upaya eksistensial: mengukur daya pancar, menjangkau cakrawala, dan berharap ada yang “merespons”.

 

Menjadi seorang lone transmitter adalah posisi yang unik. Kegiatan untuk menjangkau sinyal sejauh mungkin, seseorang terus mengirimkan energi dalam bentuk gagasan, narasi, atau tindakan kecil yang konsisten. Ia tidak tahu kapan dan siapa yang akan menerima pancaran, kemudian menjawab. Tapi ia tetap memanggil. Seperti pemanggil CQ di frekuensi sunyi, ia hanya berharap suatu saat akan terjadi “QSO” sebuah percakapan dua arah, pengakuan bahwa sinyal itu telah sampai, bahwa ia didengar.

 

Saya sering kali memikirkan, bagaimana manusia bisa bertahan dalam posisi seperti ini. Terus berproses, bertumbuh, menyusun jalan hidup, namun seolah semua itu ditujukan untuk satu titik yang tak pernah benar-benar membalas. Tapi justru dari posisi itulah, muncul dorongan yang paling otentik. Ia seperti menulis surat tanpa alamat, tapi percaya bahwa angin akan menyampaikan pesannya pada semesta yang tepat.

 

Dalam kajian psikologi motivasi, hal ini bisa dikaitkan dengan self-transcendence yaitu kondisi di mana seseorang tidak lagi bertindak hanya untuk kepuasan pribadi, melainkan untuk tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Bahkan jika tujuan itu hanya hidup dalam imajinasi atau dalam kenangan. Di sini, ruang batin menjadi panggung utama, dan dunia luar hanya sekadar gema.

 

Saya pernah bertemu orang-orang seperti ini. Mereka tidak banyak bicara tentang target, tetapi hidup mereka teratur. Mereka tidak mengejar siapa-siapa, tapi setiap langkahnya mencerminkan ada sesuatu yang sedang dikejar. Mungkin bukan sosok, tetapi rasa. Rasa ingin didengar, dipahami, atau sekadar dikenang sebagai seseorang yang pernah berusaha.

 

Uniknya, proses ini sering kali tidak tampak di permukaan. Ia berjalan diam-diam, dibungkus dalam bentuk produktivitas, tulisan, proyek, atau perjalanan spiritual. Orang luar mungkin hanya melihatnya sebagai ‘kegiatan biasa’. Tapi bagi si pemancar, itu adalah bentuk komunikasi. Bentuk doa. Bentuk keberanian untuk mencinta dalam diam.

 

Saya paham, tidak semua orang bisa memahami posisi ini. Beberapa menganggapnya sebagai bentuk penyangkalan, atau ketidakmampuan untuk move on. Tapi bagi saya, ini adalah bentuk eksistensi yang kuat. Mencintai tanpa memiliki. Berkarya tanpa ditonton. Berdoa tanpa tahu akan dijawab. Semua itu membutuhkan keberanian yang tidak main-main.

 

Tentu, dalam prosesnya akan selalu ada tarik-menarik antara harapan dan logika. Ada waktu-waktu di mana rasanya ingin berhenti. Tapi lalu muncul lagi energi baru kadang dari hal yang sederhana: satu lagu, satu kutipan, satu momen hening yang membisikkan bahwa “semua ini belum selesai.” Di titik itu, seseorang akan sadar bahwa ia bukan sedang mengejar balasan, melainkan sedang membuktikan bahwa dirinya masih hidup.

 

Saya rasa, yang paling penting dari semua ini bukan apakah pesan itu akan sampai, tapi bagaimana kita bertumbuh saat mengirimkannya. Bagaimana kita membangun versi diri yang lebih utuh, hanya karena pernah memiliki satu tujuan yang begitu personal. Karena dari situ muncul dedikasi, disiplin, dan juga kejujuran terhadap diri sendiri.

 

The lone Transmitter yang tidak tahu siapa yang akan menjawab panggilan CQ-nya, kita pun terus berbicara dalam diam. Terus menyiarkan sinyal melalui tindakan, karya, atau doa. Bukan karena kita yakin akan dibalas, tetapi karena itu adalah bagian dari siapa kita. Dan dalam proses mengudara itulah, kita belajar tentang jarak, harapan, dan kemungkinan.

Karena pesan yang dikirim dengan hati, tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya sedang merambat di udara melintasi ruang dan waktu, beresonansi dalam perjalanan mencari “frekuensi” yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar