Navigating Equilibrium: Mencari Keseimbangan di Tengah Ketidakpastian

 


Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Kalimat ini terdengar familiar, memiliki nada netral dan memiliki probabilitas kebenaran yang tinggi. Entah hal apapun jika dilakukan dengan berlebihan akan membawa masalah meskipun yang dilakukan merupakan hal yang positif juga.

 

Di sini membuktikan bahwa benar-salah dan baik-buruk adalah hal subyektif yang bisa berubah “nilai” tergantung kondisi dan sudut pandang. Hal-hal tersebut seperti memiliki polaritas yang bisa seketika bertukar posisi dalam kondisi tertentu.

 

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis perihal keteraturan alam dengan segala kepresisian dalam penciptaanya, setelah saya renungi lagi ternyata keteraturan alam bukan hanya untuk sesuatu yang “solid” atau material benda-benda nyata, melainkan keteraturan ini juga ada pada hal-hal imaterial semacam konsep dan hal-hal filosofis.

 

Bisa dikatakan semua harus seimbang. Dari hal sederhana seperti apa yang kita makan setiap hari hingga bagaimana kita mengelola tujuan besar, semua mesti dilakukan dengan seimbang. Entah dari cara, proses hingga tujuan akhir didesain untuk sesuatu yang imbang.

 

Memang terdengar terlalu idealis, namun hal tersebut saya rasa memang menjadi tuntutan alam. Bisa dibuktikan ketika kita mendapatkan masalah apapun, pasti ada sesuatu yang tidak imbang di dalamnya. Bisa dari ketidakseimbangan proses maupun hasil. Kondisi semacam ini akan menimbulkan konflik berkelanjutan jika kita tidak membenahi dengan segera.

 

Namun masalahnya, tidak semua hal bisa diimbangi dengan segera. kegiatan “menyeimbangkan” situasi memerlukan waktu yang panjang untuk sebuah proses. Kadang kala kita juga tidak tahu bagaimana caranya untuk menuju titik equilibrium ini. Terpontang panting kesana kemari mencari galah untuk tetap tegak berdiri di atas tali tipis. Sementara itu waktu terus berjalan dan tidak peduli apa yang sedang terjadi.

 

Terkadang saya sendiri menyangkal, bersikap denial dengan realitas  yang ada. Memaksakan sesuatu hingga dekat dengan “puncak” tetapi lupa bahwa ada beban yang saya bawa. Yang semestinya dilepas untuk “mengimbangi” perjalanan menuju puncak. Atau terkadang memaksakan untuk meraih hal-hal yang memang belum menjadi jangkaunya. Sudah sangat jelas ini sesuatu yang senjang, namun kesenjangan ini akan membawa kita untuk mengetahui kapabilitas kita dalam “mengimbangi” sesuatu.

 

Pada kenyataanya, kita tidak akan pernah menemukan kondisi keseimbangan yang mutlak. Proses ini terus terjadi sepanjang waktu. Kita mesti melakukan Counter-balance atau kalibrasi atas apa yang sedang kita lakukan dan apa yang sedang kita tuju. Friedrich Nietzsche pada bukunya Thus Spoke Zarathustra berbicara bahwa “Orang yang tidak bisa hidup dengan ketidakseimbangan tidak akan pernah menemukan dirinya sendiri”

 

Saya setuju dengan kalimat tersebut, sebab saat kita dihadapkan dengan masalah yang berasal dari kesenjangan. Apapun itu dari kesenjangan sosial, ekonomi, eksistensi diri hingga kesenjangan “rasa” atas interaksi.

 

Proses kita dalam mengatasi masalah tentu dengan cara menyeimbangkan sesuatu yang senjang di dalamnya. Proses tersebut membutuhkan ilmu dan pengalaman agar bisa teratasi. Namun uniknya, tidak ada parameter yang pasti dalam proses penyeimbangan tersebut.

 

Ketiadaan parameter ini bukan berarti tidak ada solusi, saya mendapatkan insight yang cukup mengena bagi saya saat berdiskusi dengan dosen ketika di kelas. Ia mengatakan ilmu bukanlah sesuatu yang mutlak, namun ilmu adalah rambu-rambu. Tidak ada kepastian, namun ketika semakin banyak rambu-rambu yang kita tahu maka semakin mudah kita meniti jalanya.

 

Dan begitulah hidup berjalan bukan tentang menemukan keseimbangan yang mutlak, melainkan tentang terus belajar menyesuaikan diri dengan ketidakseimbangan yang ada. Kita bukanlah makhluk yang bergerak dalam garis lurus, tetapi dalam gelombang, beradaptasi dengan perubahan, menyesuaikan langkah, dan kadang kala, menerima bahwa tidak semua harus sempurna.

 

Keseimbangan sejati bukanlah titik diam, melainkan tarian dinamis antara kelebihan dan kekurangan, antara usaha dan keikhlasan, antara ambisi dan penerimaan. Pada akhirnya, hidup bukan tentang mencapai keadaan yang sempurna, melainkan tentang bagaimana kita terus berproses dalam menyeimbangkan diri dengan kebijaksanaan, kesadaran, dan keberanian untuk terus melangkah.

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar