Akhir-akhir ini saya melihat banyak sekali
kekhawatiran orang-orang terhadap apa yang sedang terjadi, dari kebijakan
konyol distribusi gas, efisiensi anggaran, penurunan daya beli hingga isu world
war III. Semua sektor terdampak dari hulu hingga hilir entah efek dari
pemerintahan lokal maupun kondisi stabilitas perekonomian dunia.
Mungkin isu seperti ini tidak berdampak
signifikan untuk para pemilik modal, orang-orang yang memiliki backup kuat dari
segi finansial dan juga relasi-diplomasi, semua tetap bisa diatur karena
memiliki sumber daya untuk saling ditukar. Mereka pemilik modal tidak hanya
bertumpu pada satu sektor.
Namun, masyarakat kelas menengah ke bawah
selalu menjadi korban, jika tidak terdampak langsung dari segi kebijakan
praktis maka mereka terdampak dari segi psikis. Mereka dihantui oleh
ketidakpastian. PNS yang dulu dianggap pekerjaan paling stabil pun kini cemas
karena efisiensi anggaran, cemas akan kestabilan yang mulai goyah. Komentar dan
unggahan di sosial media menceritakan jelas apa yang sedang terjadi.
Lantas apakah kita memang selemah itu untuk
bertahan hidup? Kadang saya merenungi hal ini, bertanya pada diri saya sendiri.
Saya merefleksikan antara apa yang sedang terjadi dengan apa yang sudah
dilalui.
Saya memiliki pandangan bahwa sebenarnya
kesiapan kita menghadapi ketidakpastian adalah sesuatu yang perlu dilatih,
bukan sekadar doktrin untuk menerima kondisi ketika sudah stuck dan berpasrah
diri atau malah memaki-maki di sosial media untuk melampiaskan kekecewaan.
Melatih kesiapan kita untuk situasi seperti ini
bisa dilakukan dengan cara memahami terlebih dahulu terkait “Apa yang saya
takuti”, “Apa yang bisa membantu saya” dan “Apa yang membuat saya kuat”. Tiga
pertanyaan tersebut akan membawa kita pada kesadaran diri kita pada kelemahan,
potensi dan ancaman yang ada di sekitar. Secara tidak langsung hal ini akan
membawa kita keluar dari ekspektasi delusional menuju realitas yang mutlak.
Ketika kita sudah sadar dengan hal tersebut
maka mudah untuk memetakan kebutuhan dan arah pergerakan kita. Dari hal
tersebut kita bisa mempersiapkan mode “survival” untuk meminimalisir risiko,
tidak berharap lebih dan mampu mengukur semua perubahan yang ada di sekitar.
Saya menemukan bahwa kesiapan kita tidak
terbentuk secara instan, semua melalui proses panjang dan saling berkaitan.
Saya menyebut ini sebagai “Offgrid Plan”. Secara teknis, skema offgrid merujuk
pada sistem yang beroperasi secara mandiri tanpa bergantung pada jaringan utama
(grid).
Plan Offgrid ini dipersiapkan dengan cara
menanam sudut pandang baru untuk tidak bergantung pada siapapun dan apapun yang
tidak dapat kita kontrol, termasuk ketika menyikapi kebijakan pemerintah yang semakin
hari semakin tidak masuk akal! Membuat rencana backup di situasi darurat yang paling
mungkin dieksekusi di situasi paling sulit. Bisa dibilang bahwa ini bentuk lain
dari Stoic yang lebih praktikal, seperti yang diajarkan oleh Seneca dalam bukunya
bahwa kita harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dengan cara
membatasi ketergantungan pada hal-hal di luar kendali kita.
Selain itu, pendekatan ini selaras dengan
konsep Antifragile dari Nassim Nicholas Taleb. Nassim dalam bukunya
menjelaskan bahwa individu yang mampu beradaptasi dan tumbuh dalam
ketidakpastian akan lebih tangguh daripada mereka yang hanya bertahan. Konsep
ini menegaskan bahwa kita tidak hanya harus menghadapi ketidakpastian, tetapi
juga belajar darinya dan menjadi lebih kuat.
Offgrid Plan, bukan sekadar cara bertahan, tapi
sebuah cara berpikir yang lebih fleksibel, realistis, dan mandiri. Sudah
semestinya kita bisa menjadi individu yang lebih siap dan lebih kuat menghadapi
apa pun yang terjadi. Di tengah kondisi ekonomi dan birokrasi yang semakin
tidak menentu, yang bisa kita lakukan adalah memperkuat daya adaptasi kita,
membangun ketahanan finansial yang lebih mandiri, dan terus memperluas wawasan
serta keterampilan agar kita tidak sepenuhnya bergantung pada sistem yang
rentan berubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar