Semua ini Acak atau Memiliki Pola? Memahami Konsep True Randomness

Sejak sekolah menengah, saya sangat tertarik dengan pelajaran sosiologi dan sejarah. Salah satu hal yang saya ingat betul adalah pernyataan terkait “Sejarah selalu berulang” dan “Semua hal memiliki penyebab”. Kedua pernyataan tersebut mendorong saya untuk menelusuri apakah memang demikian. Apakah yang terjadi di dunia ini benar-benar acak, atau memiliki pola yang bisa diamati?


Saya penasaran dengan pertanyaan ini. Sederhananya, kita sering merencanakan sesuatu dengan sangat matang dan detail, namun hasil akhir justru berbeda. Sebaliknya, kita melakukan sesuatu tanpa rencana, tetapi menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Berdasarkan fenomena ini, saya kadang meragukan semua yang telah dipelajari. Seolah-olah ada faktor lain yang memiliki andil besar dalam setiap kejadian.


Dalam konteks umum, “hasil akhir” sering dikaitkan dengan keberuntungan, kebetulan, atau bahkan takdir. Namun, hal-hal tersebut tidak memberikan jawaban yang solid untuk kondisi ini. Kita sering kali masih mempertanyakan penyebab dari keberuntungan atau takdir tersebut: apa penyebabnya? Mengapa seperti ini? Ini semua berkaitan dengan konsep kausalitas (sebab-akibat).


Hingga akhirnya saya menemukan fakta bahwa perdebatan tentang apakah dunia ini bersifat acak atau semua kejadian memiliki penyebab (deterministik) telah menjadi topik diskusi sejak abad ke-16. David Hume (1711–1776) mengatakan bahwa “kebetulan” hanyalah istilah yang kita gunakan karena kita tidak mengetahui sebab-sebab sejatinya. Manusia mengalami peristiwa yang tampak acak, tetapi ia skeptis apakah semuanya memang memiliki sebab mutlak. Ia membuka ruang bahwa apparent randomness (kerandoman yang tampak) bisa jadi mencerminkan true randomness, karena manusia tidak dapat mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi.


Kemudian, Baruch Spinoza (1632–1677), seorang rasionalis, menulis dalam bukunya: “Nothing in nature is random. A thing appears random only through the incompleteness of our knowledge.” Spinoza menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi menurut hukum alam atau Tuhan. Kebetulan hanyalah ilusi akibat keterbatasan pikiran manusia. Saya cenderung setuju dengan pendapat Spinoza ini, karena apa yang kita anggap kebetulan sering kali menjadi sesuatu yang besar, yang sebenarnya sejak awal kita dipersiapkan untuk itu. Hanya saja, kita sering tidak peka terhadap tanda-tanda atau pola dan terlambat menyadarinya.


Jika ditanya apakah perjalanan kehidupan dapat dikategorikan sebagai true randomness? Saya cenderung skeptis terhadap konsep “true randomness” dalam ranah kehidupan. Dalam pengaplikasiannya, true randomness lebih erat kaitannya dengan dunia fisika yang belum terpecahkan, seperti ketidakmampuan memprediksi kapan atom akan meluruh atau suara listrik acak pada resistor karena gerakan termal elektron. Kedua hal tersebut belum terpecahkan, tetapi seiring kemajuan teknologi, true randomness tersebut mungkin dapat diprediksi dengan algoritma tertentu.


Sesuai dengan apa yang dikatakan Spinoza, saya semakin yakin bahwa apa yang saya hadapi saat ini selalu memiliki tujuan atau makna. Kausalitas ini tidak hanya berlaku pada apa yang telah terjadi, tetapi juga bisa jadi “kejadian” ini terjadi karena kita dipersiapkan untuk kejadian yang akan datang. Lebih mudahnya, dapat dilihat dalam diagram berikut:
Pagi hari saya minum air (Sebab) → sekarang saya kencing (Kejadian) → kencing terjadi untuk mempersiapkan saya bisa minum air lagi (Dipersiapkan).
Ini adalah pola sederhana yang dapat diamati. Saya meyakini bahwa semua hal memiliki pola dan tanda-tanda, tetapi kita sering kali tidak peka terhadap pola yang kita hadapi.

Alih-alih memahami tanda dan pola tersebut, kita lebih suka menyebutnya sebagai “keberuntungan” atau “kebetulan”, padahal di balik itu semua ada kausalitas yang telah atau akan terjadi. Entah karena kita tidak tahu, belum tahu, atau tidak mau tahu.


Dari sini, saya sering kali memaknai setiap kejadian, mencari arti, dan mengamati pola atas apa yang terjadi pada saya dengan cara merefleksikan apa yang telah terjadi dan memahaminya secara perlahan.


Termasuk ketika kita dipertemukan dengan seseorang, kadang kita tidak tahu mengapa tiba-tiba merasa sangat sefrekuensi dan cocok, terasa sangat acak tanpa alasan yang jelas. Namun, setelah berinteraksi dan memahami lebih dalam, tiba-tiba orang itu hilang begitu saja. Kita bisa saja menyebutnya kebetulan, tetapi karena saya meyakini kausalitas, hal seperti ini bukan tanpa sebab. Bisa jadi kedatangan mereka hanya sebagai “pelatih” untuk kita menemukan makna baru atau sudut pandang baru dalam sebuah interaksi.


People come and go, di usia saya saat ini, hal ini semakin terasa. Teman sekolah yang dulu sangat dekat kini hanya saling menonton status. Obrolan yang dulu relate kini mulai pudar, tidak ada urusan lagi, mereka memiliki dunianya sendiri. Proses temu-pisah mulai terasa sangat familiar bagi saya. Saya mulai terbiasa dan tidak lagi menggebu-gebu untuk mempertanyakan alasan-alasan itu. Saya yakin setiap momen senang, susah, dan sedih selalu membawa persepsi baru dan pengalaman baru untuk kita berkembang dan semakin matang. Tinggal kepekaan kita dalam merespons pola dan tanda-tanda yang kita dapatkan untuk dijadikan makna.


Setiap pertemuan, perpisahan, kegagalan, atau keberhasilan adalah bagian dari pola besar yang mengarahkan kita menuju makna yang lebih dalam. Mungkin kita tidak akan pernah sepenuhnya mengungkap misteri di balik setiap kejadian, tetapi dengan kepekaan dan kesiapan untuk merenung, kita dapat menemukan kedamaian dalam keyakinan bahwa tidak ada yang benar-benar sia-sia. Hidup, dengan segala ketidakpastiannya, adalah undangan untuk terus mencari, memahami, dan merangkul tanda-tanda yang membentuk perjalanan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar