Apakah Kekacauan Bisa Menjadi Kanvas Perubahan?

 

Di penghujung Agustus 2025, Indonesia seperti lukisan yang retak di tepian. Jalanan Jakarta, Surabaya, hingga Makassar bergemuruh dengan suara mahasiswa, buruh, dan masyarakat biasa yang menuntut keadilan. Protes yang dipicu oleh tunjangan DPR, kontras dengan jeritan penghematan rakyat, meledak setelah kematian tragis seorang pengemudi ojek online tertabrak kendaraan polisi. Gas air mata, barikade, dan puing gedung pemerintahan yang terbakar menjadi cermin luka bangsa yang terbuka lebar. Sebagai mahasiswa dan anak muda, saya mencoba merenungkan kekacauan ini melalui artikel ini, mencari makna di tengah badai, dan memimpikan Indonesia yang lebih baik di masa depan.

 

Dari sudut pandang filsafat, apa yang terjadi bukan sekadar demonstrasi, melainkan pergulatan eksistensial. Heraclitus pernah berkata, “segalanya mengalir, dan konflik adalah jantung perubahan”. Ketidakadilan tunjangan elite di tengah kemiskinan itu seperti membangun istana pasir di tepi ombak: sia-sia, runtuh oleh gelombang kemarahan rakyat. Kemudian Sartre mengajarkan bahwa kita bebas memilih, tapi kebebasan elite yang tak peka justru menciptakan ketidakjelasan. Rakyat berjuang untuk makan, sementara DPR mengejar privilese. Protes ini adalah upaya mencari keseimbangan, seperti menari di tepi jurang, di mana kita sebagai manusia, dipaksa beradaptasi karena kebutuhan, bukan keinginan. Sebagai mahasiswa, saya melihat ini sebagai pertanyaan Nietzsche: apakah kita cukup kuat untuk menciptakan makna dari kekacauan, atau justru tenggelam dalam nihilisme?

 

Realitas sosial saat ini adalah potret polarisasi. Di satu sisi, rakyat menuntut reformasi, dari pembubaran DPR hingga kebijakan yang adil. Di sisi lain, pemerintah berjuang menjaga stabilitas, dengan risiko menekan kebebasan. Sebagai anak muda, saya merasakan denyut ganda: semangat untuk bergerak, tapi juga ketakutan akan eskalasi yang merusak. Mahasiswa berada di garis depan bukan hanya di jalanan, tapi di ruang pemikiran. Kami bukan sekadar penggertak, tapi penanya: mengapa kesenjangan ini ada, dan bagaimana kita memperbaikinya? Ini bukan soal amarah semata, melainkan tanggung jawab untuk membentuk masa depan.


Sikap sebagai anak muda harus berpijak pada keberanian dan kebijaksanaan. Kita punya masa depan panjang, tapi itu bukan alasan untuk larut dalam emosi sesaat. Demonstrasi damai adalah hak, tapi dialog adalah jembatan. Kita harus belajar dari sejarah. Reformasi 1998 mengajarkan bahwa perubahan butuh pengorbanan, tapi juga visi jelas. Saya percaya kita harus menjadi katalis: menulis, berbicara, dan mengorganisir ide untuk reformasi, tanpa terjebak kekerasan yang hanya melahirkan trauma baru. Kita adalah generasi digital, dengan media sosial sebagai alat, tapi hal ini juga bisa menjadi jebakan, jangan sampai suara kita tenggelam dalam disinformasi.


Refleksi saya atas situasi ini sederhana, setelah asap gas air mata sirna, apa yang tersisa? Jika kita hanya membakar, kita kehilangan kesempatan membangun. Harapan saya adalah Indonesia yang mendengar. Pemerintah yang berdialog, rakyat yang bersatu, dan sistem yang lebih adil. Visi ke depan adalah negara di mana anak muda tak lagi harus turun ke jalan untuk didengar, tapi punya ruang di meja kebijakan, membangun ekonomi yang inklusif dan demokrasi yang hidup.


Jika kekacauan ini berlanjut tanpa solusi, bayang-bayang gelap menanti: kerusuhan yang lebih luas, mungkin intervensi militer, dan ekonomi yang ambruk. Pasar saham sudah goyah, investor lari, dan kehidupan rakyat semakin sulit. Kita bisa terjebak dalam lingkaran ketidakstabilan, seperti negara tetangga yang terpuruk. Tapi saya percaya, sebagai anak muda, kita punya kekuatan untuk mengubah arah. Kita mesti menjadi penutur cerita baru Indonesia, bukan dengan api, tapi dengan ide, empati, dan tindakan nyata untuk masa depan yang lebih cerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar